Rabu, 11 Januari 2012

sejarah nabi Muhammad SAW


Sejarah Hidup Muhammad
oleh Muhammad Husain Haekal

BAGIAN KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN                  
SAMPAI PERKAWINANNYA
Muhammad Husain Haekal

  
USIA Abd'l-Muttalib sudah  hampir  mencapai  tujuhpuluh  tahun
atau   lebih   tatkala  Abraha  mencoba  menyerang  Mekah  dan
menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu  umur  Abdullah  anaknya
sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb  bin  Abd
Manaf  bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai
pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka  pergilah
anak-beranak  itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan
anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya.  Sebagian  penulis
sejarah  berpendapat,  bahwa  ia  pergi  menemui  Uhyab, paman
Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah  meninggal  dan  dia  di
bawah  asuhan  pamannya.  Pada hari perkawinan Abdullah dengan
Aminah itu, Abd'l-Muttalib  juga  kawin  dengan  Hala,  puteri
pamannya.  Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan
yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah  tinggal  selama  tiga  hari  di  rumah
Aminah,  sesuai  dengan  adat  kebiasaan  Arab bila perkawinan
dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah  itu
mereka  pindah  bersama-sama  ke  keluarga Abd'l-Muttalib. Tak
seberapa lama kemudian Abdullahpun  pergi  dalam  suatu  usaha
perdagangan  ke  Suria  dengan  meninggalkan isteri yang dalam
keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa  keterangan
yang  berbeda-beda:  adakah  Abdullah kawin lagi selain dengan
Aminah;  adakah  wanita  lain  yang  datang  menawarkan   diri
kepadanya?     Rasanya    tak    ada    gunanya    menyelidiki
keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti  ialah  Abdullah
adalah  seorang  pemuda  yang tegap dan tampan. Bukan hal yang
luar biasa jika ada wanita lain yang ingin  menjadi  isterinya
selain  Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu
hilanglah harapan yang lain walaupun  untuk  sementara.  Siapa
tahu,   barangkali   mereka  masih  menunggu  ia  pulang  dari
perjalanannya ke  Syam  untuk  menjadi  isterinya  di  samping
Aminah.

Dalam  perjalanannya  itu  Abdullah  tinggal  selama  beberapa
bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali  lagi.
Kemudian  ia  singgah  ke  tempat  saudara-saudara  ibunya  di
Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam
perjalanan.  Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah
ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita  sakit  di  tempat
saudara-saudara  ibunya  itu.  Kawan-kawannyapun  pulang lebih
dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan  berita
sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Begitu  berita sampai kepada Abd'l-Muttalib ia mengutus Harith
- anaknya yang sulung - ke  Medinah,  supaya  membawa  kembali
bila  ia  sudah  sembuh.  Tetapi  sesampainya  di  Medinah  ia
mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan
pula,   sebulan   sesudah   kafilahnya   berangkat  ke  Mekah.
Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan  membawa  perasaan
pilu  atas  kematian  adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa
hati Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan
seorang  suami  yang  selama  ini  menjadi harapan kebahagiaan
hidupnya. Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya
sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa
belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah  wafat  terdiri  dari  lima  ekor
unta,  sekelompok  ternak kambing dan seorang budak perempuan,
yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh  Nabi.  Boleh
jadi   peninggalan   serupa  itu  bukan  berarti  suatu  tanda
kekayaan; tapi  tidak  juga  merupakan  suatu  kemiskinan.  Di
samping  itu  umur  Abdullah yang masih dalam usia muda belia,
sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada
itu  ia  memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih
hidup itu.

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti  wanita  lain  iapun
melahirkan.  Selesai  bersalin  dikirimnya berita kepada Abd'l
Muttalib  di  Ka'bah,  bahwa  ia   melahirkan   seorang   anak
laki-laki.  Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima
berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira
sekali  hatinya  karena  ternyata pengganti anaknya sudah ada.
Cepat-cepat ia menemui menantunya itu,  diangkatnya  bayi  itu
lalu  dibawanya  ke  Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini
tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya  bayi  itu  kepada  ibunya. Kini mereka sedang
menantikan orang yang akan menyusukannya  dari  Keluarga  Sa'd
(Banu  Sa'd),  untuk  kemudian  menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum
bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai  tahun  ketika  Muhammad  dilahirkan,  beberapa  ahli
berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah
(570  Masehi).  Ibn  Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun
Gajah itu. Yang lain berpendapat  kelahirannya  itu  limabelas
tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan
ia dilahirkan beberapa hari  atau  beberapa  bulan  atau  juga
beberapa  tahun  sesudah  Tahun  Gajah. Ada yang menaksir tiga
puluh tahun, dan ada  juga  yang  menaksir  sampai  tujuhpuluh
tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya.
Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang  berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat
dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab,
sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan  pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan.
Satu pendapat mengatakan pada malam kedua  Rabiul  Awal,  atau
malam   kedelapan,   atau   kesembilan.  Tetapi  pada  umumnya
mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas  Rabiul
Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya   terdapat   perbedaan   pendapat  mengenai  waktu
kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian  juga  mengenai
tempat  kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai
sur  l'Histoire  des   Arabes   menyatakan,   bahwa   Muhammad
dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib.

Pada  hari  ketujuh  kelahirannya  itu  Abd'l-Muttalib   minta
disembelihkan   unta.   Hal   ini  kemudian  dilakukan  dengan
mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa  anak  itu  diberi  nama Muhammad, mereka bertanya-tanya
mengapa ia tidak suka memakai nama nenek  moyang.  "Kuinginkan
dia akan  menjadi  orang  yang Terpuji,1  bagi Tuhan di langit
dan bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib.

Aminah masih menunggu  akan  menyerahkan  anaknya  itu  kepada
salah  seorang  Keluarga  Sa'd  yang  akan menyusukan anaknya,
sebagaimana sudah menjadi kebiasaan  bangsawan-bangsawan  Arab
di    Mekah.    Adat   demikian   ini   masih   berlaku   pada
bangsawan-bangsawan  Mekah.  Pada   hari   kedelapan   sesudah
dilahirkan  anak  itupun  dikirimkan  ke  pedalaman  dan  baru
kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh
tahun.  Di  kalangan  kabilah-kabilah  pedalaman yang terkenal
dalam menyusukan ini di antaranya  ialah  kabilah  Banu  Sa'd.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah
menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu  Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah
yang juga kemudian disusukannya. Jadi  mereka  adalah  saudara
susuan.

Sekalipun  Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun
ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya.
Setelah  wanita  itu  meninggal  pada tahun ketujuh sesudah ia
hijrah ke Medinah,  untuk  meneruskan  hubungan  baik  itu  ia
menanyakan  tentang  anaknya yang juga menjadi saudara susuan.
Tetapi kemudian  ia  mengetahui  bahwa  anak  itu  juga  sudah
meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya  datang  juga  wanita-wanita  Keluarga Sa'd yang akan
menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang  akan
mereka  susukan.  Akan  tetapi  mereka  menghindari  anak-anak
yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa  dari
sang  ayah.  Sedang  dari  anak-anak yatim sedikit sekali yang
dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di  antara  mereka  itu
tak  ada  yang  mau  mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat
hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat  mereka
harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak
Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat
bayi  lain  sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang  wanita  yang  kurang  mampu,  ibu-ibu  lainpun  tidak
menghiraukannya.  Setelah  sepakat  mereka  akan  meninggalkan
Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya:
"Tidak  senang  aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa
membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim  itu
dan akan kubawa juga."

"Baiklah,"  jawab  suaminya.  "Mudah-mudahan  karena itu Tuhan
akan memberi berkah kepada kita."

Halimah  kemudian  mengambil  Muhammad  dan  dibawanya   pergi
bersama-sama   dengan   teman-temannya   ke   pedalaman.   Dia
bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa  mendapat
berkah.   Ternak   kambingnya   gemuk-gemuk   dan   susunyapun
bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di  sahara,  disusukan  oleh
Halimah  dan  diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan
kehidupan pedalaman yang  kasar  menyebabkannya  cepat  sekali
menjadi  besar,  dan  menambah  indah  bentuk  dan pertumbuhan
badannya. Setelah cukup dua tahun dan  tiba  masanya  disapih,
Halimah  membawa  anak  itu  kepada  ibunya  dan  sesudah  itu
membawanya kembali ke  pedalaman.  Hal  ini  dilakukan  karena
kehendak  ibunya,  kata sebuah keterangan, dan keterangan lain
mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa  kembali
supaya  lebih  matang,  juga  memang  dikuatirkan  dari adanya
serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal  di  sahara,  menikmati  udara
pedalaman  yang  jernih  dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu
ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya  mencapai  tiga  tahun,  ketika
itulah  terjadi  cerita  yang  banyak dikisahkan orang. Yakni,
bahwa  sementara  ia  dengan  saudaranya  yang  sebaya  sesama
anak-anak   itu  sedang  berada  di  belakang  rumah  di  luar
pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd
itu   kembali   pulang  sambil  berlari,  dan  berkata  kepada
ibu-bapanya: "Saudaraku yang dari Quraisy  itu  telah  diambil
oleh  dua  orang  laki-laki  berbaju  putih.  Dia dibaringkan,
perutnya dibedah, sambil di balik-balikan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan,  bahwa  mengenai
diri  dan suaminya ia berkata: "Lalu saya pergi dengan ayahnya
ke  tempat  itu.  Kami  jumpai  dia  sedang  berdiri.  Mukanya
pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami
tanyakan: "Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh
dua  orang  laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu
aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat
ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah  itu,
dibawanya  anak  itu  kembali  kepada  ibunya  di  Mekah. Atas
peristiwa ini Ibn Ishaq  membawa  sebuah  Hadis  Nabi  sesudah
kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq
nampaknya  hati-hati  sekali  dan   mengatakan   bahwa   sebab
dikembalikannya  kepada  ibunya bukan karena cerita adanya dua
malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah
-  ketika  ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada
beberapa orang Nasrani  Abisinia  memperhatikan  Muhammad  dan
menanyakan   kepada   Halimah  tentang  anak  itu.  Dilihatnya
belakang anak itu, lalu mereka berkata:

"Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di  negeri  kami.
Anak  ini  akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui
keadaannya." Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri  dari
mereka  dengan  membawa  anak  itu.  Demikian juga cerita yang
dibawa oleh Tabari, tapi  ini  masih  di  ragukan;  sebab  dia
menyebutkan   Muhammad   dalam   usianya   itu,  lalu  kembali
menyebutkan  bahwa  hal  itu  terjadi   tidak   lama   sebelum
kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.

                                   
Baik  kaum  Orientalis  maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan
menganggap   sumber  itu  lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu
hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata
peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya  kepada
ibunya,  tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa  penulis
berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.
 
Dalam hal ini Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita
tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya  suatu
gangguan  kepada  anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau  hal  itu  tidak  sampai
mengganggu  kesehatannya  ialah  karena  bentuk  tubuhnya yang
baik. Barangkali yang  lainpun  akan  berkata:  Baginya  tidak
diperlukan  lagi  akan  ada  yang  harus  membelah  perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan  sudah  mempersiapkannya
supaya  menjalankan  risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari  yang  diketahui
orang  dari  teks  ayat  yang  berbunyi:  "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)
 
Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan)
dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya  seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala
beban karena Risalah yang berat itu.
 
Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah  bahwa  peri  hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu
memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.
Dengan  demikian  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan  apa  yang  diminta  oleh
Qur'an   supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.
 
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia  lima
tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara  yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar
mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian:  "Aku  yang  paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."
 
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang  indah  sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya  tempat  dia  menumpahkan  rasa  kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.
 
Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana  Halimah
kemudian  mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah  sebagai  tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah  Ta'if  dikepung,  kemudian
dibawa  kepada  Muhammad,  ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya  sesuai  dengan  keinginan
wanita itu.
 
Sesudah  lima  tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya    pulang    ketempat    keluarganya   tapi   tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan  memberitahukan
bahwa  Muhammad  telah  sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya,  yang
akhirnya   dikembalikan   oleh  Waraqa  bin  Naufal,  demikian
setengah orang berkata.
 
Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh  cucunya  itu.
Ia   memeliharanya   sungguh-sungguh  dan  mencurahkan  segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin  seluruh  Quraisy  dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan  tempat  dia  duduk  di  bawah  naungan  Ka'bah,  dan
anak-anaknya  lalu  duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi  apabila  Muhammad  yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.
 
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek  itu  kepada  cucunya  ketika
Aminah   kemudian   membawa   anaknya  itu  ke  Medinah  untuk
diperkenalkan  kepada  saudara-saudara  kakeknya  dari   pihak
Keluarga Najjar.
 
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu.  Sesampai  mereka  di  Medinah
kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kali
ia  merasakan  sebagai  anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu,   yang   setelah  beberapa  waktu  tinggal  bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari  pihak
ibu.  Sesudah  Hijrah  pernah  juga  Nabi  menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan  ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
 
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah  sudah
bersiap-siap  akan  pulang.  Ia  dan  rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah  perjalanan,  ketika  mereka  sampai  di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.
 
Anak  itu  oleh  Umm  Aiman  dibawa  pulang  ke  Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan;  sudah  ditakdirkan  menjadi  anak  yatim.  Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi,  makin  sedih.  Baru  beberapa
hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  Ibunda  keluhan  duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini  ia
melihat  sendiri  dihadapannya,  ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
 
Lebih-lebih  lagi  kecintaan  Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan
nikmat  yang  dianugerahkan  kepadanya  itu:  "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya  orang  yang  akan
melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman,  lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)
 
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal,
dalam  usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur  delapan  tahun.  Sekali   lagi   Muhammad   dirundung
kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah
dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia,
sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
 
Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik   sekali,   mendapat
perlindungan  sampai  masa  kenabiannya,  yang  terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.
 
Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang  seperti  dia:  mempunyai  keteguhan  hati,   kewibawaan,
pandangan  yang  tajam,  terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan  minuman  bagi  mereka
yang  datang  berziarah,  memberikan  bantuan  kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak  ada
lagi  dari  anak-anaknya  itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu,  sedang  yang
kaya  hidupnya  kikir  sekali.  Oleh  karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang  memang  sejak  dulu  diinginkan  itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
 
Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu  Talib,  sekalipun  dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib  mempunyai  perasaan  paling  halus  dan  terhormat   di
kalangan   Quraisy.   Dan   tidak   pula   mengherankan  kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.
 
Abu    Talib   mencintai   kemenakannya   itu   sama   seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,  itulah  yang
lebih  menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas  tahun  -  mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad.
Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan
menemani pamannya  itu,  itu  juga  yang  menghilangkan  sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
 
Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku
riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu
telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber  menceritakan,
bahwa   rahib   itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan
terlampau  dalam  memasuki  daerah  Syam,  sebab   dikuatirkan
orang-orang   Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan
berbuat jahat terhadap dia.
 
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah  itu
melihat  luasnya  padang  pasir,  menatap bintang-bintang yang
berkilauan  di  langit  yang  jernih   cemerlang.   Dilaluinya
daerah-daerah    Madyan,    Wadit'l-Qura   serta   peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan  telinganya  yang
tajam  segala  cerita  orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan  yang  sudah  masak,  yang  akan
membuat  ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan  dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam  ini  juga  Muhammad  mengetahui
berita-berita  tentang  Kerajaan  Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab  Suci  mereka  serta  oposisi
Persia  dari  penyembah  api  terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.
 
Sekalipun  usianya  baru  dua  belas  tahun,  tapi  dia  sudah
mempunyai  persiapan  kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam  dan  ingatan
yang  cukup  kuat  serta  segala  sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah  (misi)  maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki,  meneliti.  Ia  tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
 
Tampaknya  Abu  Talib  tidak   banyak   membawa   harta   dari
perjalanannya   itu.   Ia  tidak  lagi  mengadakan  perjalanan
demikian.  Malah  sudah  merasa  cukup   dengan   yang   sudah
diperolehnya  itu.  Ia  menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang  banyak  sekalipun  dengan  harta  yang  tidak  seberapa.
Muhammad  juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka  yang
seusia  dia.  Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah  dengan  keluarga,  kadang  pergi  bersama   mereka   ke
pekan-pekan   yang   berdekatan   dengan  'Ukaz,  Majanna  dan
Dhu'l-Majaz,  mendengarkan  sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh
penyair-penyair  Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih  melukiskan  lagu  cinta
dan  puisi-puisi  kebanggaan,  melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan  mereka,  kemurahan  hati  dan  jasa-jasa   mereka.
Didengarnya  ahli-ahli  pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan  Nasrani  yang  membenci  paganisma  Arab.  Mereka  bicara
tentang  Kitab-kitab  Suci  Isa  dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran  menurut  keyakinan  mereka.  Dinilainya  semua  itu
dengan  hati  nuraninya,  dilihatnya  ini  lebih baik daripada
paganisma yang telah  menghanyutkan  keluarganya  itu.  Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.
 
Dengan  demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula  pertama  datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan  risalahNya  itu.  Yakni  risalah  kebenaran  dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.
 
Kalau  Muhammad  sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya  Abu  Talib,  sudah  mendengar  para  penyair,
ahli-ahli  pidato  membacakan  sajak-sajak  dan  pidato-pidato
dengan  keluarganya  dulu  di  pekan  sekitar   Mekah   selama
bulan-bulan  suci,  maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia  mendampingi  paman-pamannya  dalam  Perang
Fijar.  Dan  Perang  Fijar  itulah  di  antaranya  yang  telah
menimbulkan  dan  ada  sangkut-pautnya  dengan  peperangan  di
kalangan  kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu  kabilah-kabilah
seharusnya   tidak   boleh   berperang.   Pada   waktu  itulah
pekan-pekan dagang diadakan di  'Ukaz,  yang  terletak  antara
Ta'if  dengan  Nakhla  dan  antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling  tukar  menukar
perdagangan,  berlumba  dan  berdiskusi,  sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka  di  Ka'bah.  Pekan
'Ukaz  adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab  lainnya.  Di  tempat   itu   penyair-penyair   terkemuka
membacakan  sajak-sajaknya  yang  terbaik,  di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan  di  tempat  itu  pula  orang-orang
Yahudi,  Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas,  sebab  bulan  itu  bulan
suci.
 
Akan  tetapi  Barradz  bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati  bulan  suci  itu  dengan   mengambil   kesempatan
membunuh  'Urwa  ar-Rahhal  bin  'Utba  dari  kabilah Hawazin.
Kejadian  ini  disebabkan  oleh  karena  Nu'man  bin'l-Mundhir
setiap  tahun  mengirimkan  sebuah  kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus,  dan  sebagai  gantinya  akan  kembali  dengan
membawa  kulit  hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil  sendiri  dan  membawa  kafilah  itu  ke  bawah
pengawasan  kabilah  Kinana.  Demikian  juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
 
Adapun pilihan  Nu'man  terhadap  'Urwa  (Hawazin)  ini  telah
menimbulkan   kejengkelan   Barradz  (Kinana),  yang  kemudian
mengikutinya dari belakang,  lalu  membunuhnya  dan  mengambil
kabilah  itu.  Sesudah  itu  kemudian  Barradz  memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas  kepada  Quraisy.  Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci.  Maka  terjadilah  perang  antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin  memberi  peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.
 
Perang  demikian  ini  berlangsung  antara  kedua  belah pihak
selama empat tahun terus-menerus  dan  berakhir  dengan  suatu
perdamaian   model  pedalaman,  yaitu  yang  menderita  korban
manusia lebih  kecil  harus  membayar  ganti  sebanyak  jumlah
kelebihan  korban  itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah  membayar  kompensasi  sebanyak  duapuluh  orang
Hawazin.  Nama  Barradz  ini  kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak  memberikan  kepastian
mengenai  umur  Muhammad  pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas  tahun,  ada  juga  yang
mengatakan  duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama  empat  tahun.  Pada  tahun
permulaan   ia   berumur   limabelas   tahun  dan  pada  tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai  tugas  yang  dipegang
Muhammad  dalam  perang  itu.  Ada  yang  mengatakan  tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang  dari  pihak  Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang  lain  lagi  berpendapat,  bahwa  dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka  kebenaran
kedua  pendapat  itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia  mengumpulkan  anak-anak  panah  itu  untuk  pamannya   dan
kemudian  dia  sendiripun  ikut  melemparkan.  Beberapa  tahun
sesudah  kenabiannya  Rasulullah  menyebutkan  tentang  Perang
Fijar  itu  dengan  berkata:  "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam  perang  itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."
 
Sesudah  Perang  Fijar  Quraisy  merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya,  yang  disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau  jadi  yang  berkuasa.  Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah  bin  Jud'an  diadakan  pertemuan  dengan  mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh  keluarga-keluarga  Hasyim,  Zuhra
dan  Taym.  Mereka  sepakat  dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan  berada  di  pihak  yang  teraniaya
sampai  orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul.  Ia  mengatakan,  "Aku
tidak  suka  mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik.  Kalau  sekarang  aku  diajak
pasti kukabulkan."
 
Seperti   kita  lihat,  Perang  Fijar  itu  berlangsung  hanya
beberapa hari saja tiap tahun.  Sedang  selebihnya  masyarakat
Arab  kembali  ke  pekerjaannya  masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan  yang  tergores  dalam  hati  mereka   tidak   akan
menghalangi  mereka  dari  kegiatan  perdagangan,  menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan  dan
hiburan sepuas-puasnya
 
Adakah  juga  Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus,  kemampuannya  yang
terbatas  serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan  mata  bernafsu  tapi
tidak  mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan  karena
tidak  mampu  mencapainya.  Mereka  yang  tinggal di pinggiran
Mekah,  yang  tidak  mempunyai  mata  pencarian,  hidup  dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari  pemuka-pemuka  Mekah
dan  bangsawan-bangsawan  Quraisy  dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.
 
Akan tetapi jiwa Muhammad  adalah  jiwa  yang  ingin  melihat,
ingin  mendengar,  ingin  mengetahui.  Dan  seolah  tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak  bangsawan  menyebabkan  ia  lebih  keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang  menyebabkan
dia  menjauhi  foya-foya,  yang  biasa  menjadi  sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup  yang  akan  lahir
dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh
julukan  yang  diberikan  orang  kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak  gejala
kesempurnaan,  kedewasaan  dan  kejujuran  hati  sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua  memanggilnya  Al-Amin  (artinya
'yang dapat dipercaya').
 
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam  masa  mudanya
itu.   Dia  menggembalakan  kambing  keluarganya  dan  kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia  menyebutkan  saat-saat
yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing."
Dan  katanya  lagi:  "Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala  kambing
keluargaku di Ajyad."
 
Gembala  kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam
sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang  serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian  itu,  karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu.  Dalam  pelbagai  manifestasi  alam  ia   mencari   suatu
penafsiran  tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak  demikian  berarti
kematian?   Bukankah   ia   dihidupkan  oleh  sinar  matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya  berhubungan  dengan
bintang-bintang  dan  dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di  depannya,  berhubungan
satu  dengan  yang  lain  dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului  siang.  Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu  memintakan  kesadaran  dan  perhatiannya  supaya
jangan  ada  serigala  yang  akan  menerkam  domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu  -  ada  domba  yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?
 
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di   hadapannya.   Oleh   karena   itu,  dalam  perbuatan  dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala  penodaan  nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.
 
Semua  ini  dibuktikan  oleh  keterangan  yang  diceritakannya
kemudian,  bahwa  ketika  itu  ia  sedang  menggembala kambing
dengan seorang kawannya.  Pada  suatu  hari  hatinya  berkata,
bahwa  ia  ingin  bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu  senja,  bahwa  ia
ingin  turun  ke  Mekah,  bermain-main  seperti para pemuda di
gelap  malam,  dan  dimintanya  kawannya  menjagakan   kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir  di  tempat
itu.  Tetapi  tiba-tiba  ia  tertidur.  Pada  malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud  yang  sama.  Terdengar
olehnya  irama  musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
 
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya  penarik  Mekah  itu
terhadap  kalbu  dan  jiwa  yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya  penarik  yang
kita  gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?
 
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar
nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan  berpikir  dan  merenung  serta  kesenangan  bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang  membawa  kekayaan  berlimpah-limpah  baginya.  Dan
memang  tidak  pernah  Muhammad  mempedulikan  hal  itu. Dalam
hidupnya  ia  memang  menjauhkan  diri  dari  segala  pengaruh
materi.  Apa  gunanya  ia  mcngejar  itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang  diperlukannya  dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.
 
Bukankah  dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang
hidup  dalam  kekurangan  selalu  dan   minta   supaya   orang
bergembira  menghadapi  penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan  serakah  hendak  memenuhi  hawa  nafsunya,  sama
sekali   tidak   pernah   dikenal  Muhammad  selama  hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang  paling  besar,  ialah  merasakan  adanya
keindahan  alam  ini  dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar,  yang  hanya  sedikit  saja  dikenal  orang.
Kenikmatan  yang  dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula  yang  telah  diperlihatkan  dunia  sejak  masa
mudanya  adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang  hidup  tidak  hanya  mementingkan  dunia.  Ini
dimulai   sejak   kematian   ayahnya  ketika  ia  masih  dalam
kandungan,  kemudian  kematian   ibunya,   kemudian   kematian
kakeknya.  Kenikmatan  demikian  ini  tidak  memerlukan  harta
kekayaan yang besar, tetapi  memerlukan  suatu  kekayaan  jiwa
yang  kuat.  sehingga  orang  dapat  mengetahui:  bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
 
Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala  pemikir,
yang  telah  menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
 
Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah  kita  sebutkan
tadi  -hidup  miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki  yang  akan
diperoleh   dari   pemilik-pemilik   kambing  yang  kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa  Khadijah
bint  Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang  yang
kaya  dan  dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia  bertambah
kaya  setelah  dua  kali  ia  kawin  dengan  keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang  terkaya.  Ia
menjalankan  dagangannya  itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang  kepercayaannya.  Beberapa  pemuka  Quraisy
pernah  melamarnya,  tetapi  ditolaknya.  Ia  yakin mereka itu
melamar hanya karena  memandang  hartanya.  Sungguhpun  begitu
usahanya itu terus dikembangkan.
 
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang  akan  dibawa  dengan  kafilah  ke  Syam,  ia
memanggil   kemenakannya  -  yang  ketika  itu  sudah  berumur
duapuluh lima tahun.
 
"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang  berpunya.  Keadaan
makin   menekan  kita  juga.  Aku  mendengar,  bahwa  Khadijah
mengupah orang dengan dua  ekor  anak  unta.  Tapi  aku  tidak
setuju  kalau  akan  mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
 
"Terserah paman," jawab Muhammad.
 
Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:
 
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu  Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
 
"Kalau  permintaanmu  itu  buat  orang  yang  jauh  dan  tidak
kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.
 
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan  menceritakan
peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.
 
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi  dengan
Maisara,  budak  Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah  itupun  berangkat   menuju   Syam,   dengan   melalui
Wadi'l-Qura,  Madyan  dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.
 
Perjalanan  sekali  ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah  dia
lebih  banyak  bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya:  tentang
peribadatan   dan  kepercayaan-kepercayaan  di  Syam  atau  di
pasar-pasar sekeliling Mekah.
 
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia  bicara  dengan  rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia  atau  rahib-rahib  lain  pernah  juga  mengajak Muhammad
berdebat  tentang  agama  Isa,  agama  yang  waktu  itu  sudah
berpecah-belah  menjadi  beberapa  golongan  dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.
 
Dengan kejujuran  dan  kemampuannya  ternyata  Muhammad  mampu
benar  memperdagangkan  barang-barang  Khadijah,  dengan  cara
perdagangan yang  lebih  banyak  menguntungkan  daripada  yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang  manis  dan  perasaannya  yang  luhur  ia  dapat  menarik
kecintaan  dan  penghormatan  Maisara  kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali,  mereka  membeli  segala  barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
 
Dalam    perjalanan    kembali    kafilah   itu   singgah   di
Marr'-z-Zahran.  Ketika  itu   Maisara   berkata:   "Muhammad,
cepat-cepatlah    kau    menemui    Khadijah   dan   ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
 
Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Mekah.
Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman
rumahnya.  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad
bercerita   dengan   bahasa   yang   begitu   fasih    tentang
perjalanannya  serta  laba  yang  diperolehnya,  demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.  Khadijah  gembira
dan  tertarik  sekali  mendengarkan.  Sesudah  itu  Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad,  betapa
halusnya  wataknya,  betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah  pengetahuan   Khadijah   di   samping   yang   sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
 
Dalam  waktu  singkat  saja  kegembiraan  Khadijah  ini  telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah  berusia
empatpuluh  tahun,  dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy  -  tertarik  juga
hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal
itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa  bint  Mun-ya  -  kata  sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"
 
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab
Muhammad.
 
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"
 
"Siapa itu?"
 
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."
 
"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan  kepada  Khadijah  sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah  sudah  menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
 
Setelah  atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak  lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
 
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya   sudah
meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada
tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
 
Di  sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai  suami-isteri  dan  ibu-bapa,
suami-isten  yang  harmonis  dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya  kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.
BAGIAN KEEMPAT: DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA (1/2)
Muhammad Husain Haekal
 
   Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah
   membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
   - Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri
   Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan
   putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri -
   Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu
   pertama.
 
DENGAN duapuluh ekor unta  muda  sebagai  mas  kawin  Muhammad
melangsungkan  perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
rumah  Khadijah  dalam  memulai  hidup  barunya   itu,   hidup
suami-isteri  dan  ibu-bapa,  saling  mencintai  cinta sebagai
pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia  tidak  mengenal  nafsu
muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
yang dimulai  seolah  nyala  api  yang  melonjak-lonjak  untuk
kemudian  padam  kembali.  Dari  perkawinannya  itu ia beroleh
beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.  Kematian  kedua
anaknya,  al-Qasim  dan  Abdullah  at-Tahir  at-Tayyib1  telah
menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang  masih
hidup   semua   perempuan.   Bijaksana   sekali   ia  terhadap
anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun  sangat  setia
dan hormat kepadanya.
 
Paras  mukanya  manis  dan  indah,  Perawakannya sedang, tidak
terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
besar,  berambut  hitam  sekali  antara  keriting  dan  lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas  sepasang  alis  yang  lengkung
lebat  dan  bertaut,  sepasang  matanya  lebar  dan  hitam, di
tepi-tepi putih matanya agak ke  merah-merahan,  tampak  lebih
menarik  dan  kuat:  pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan  merata  dengan  barisan
gigi  yang  bercelah-celah.  Cambangnya lebar sekali, berleher
panjang dan  indah.  Dadanya  lebar  dengan  kedua  bahu  yang
bidang.  Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
tangan dan kakinya yang tebal.
 
Bila  berjalan  badannya  agak  condong   kedepan,   melangkah
cepat-cepat  dan  pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
penuh  pikiran,  pandangan  matanya  menunjukkan   kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.
 
Dengan  sifatnya  yang  demikian itu tidak heran bila Khadijah
cinta dan patuh kepadanya, dan tidak  pula  mengherankan  bila
Muhammad  dibebaskan  mengurus  hartanya  dan dia sendiri yang
memegangnya  seperti  keadaannya  semula   dan   membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
 
Muhammad  yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam  kedudukan  yang  tinggi  dan
harta  yang  cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
rasa gembira dan hormat. Mereka  melihat  karunia  Tuhan  yang
diberikan  kepadanya  serta  harapan akan membawa turunan yang
baik  dengan  Khadijah.  Tetapi  semua  itu  tidak  mengurangi
pergaulannya  dengan  mereka.  Dalam  hidup  hari-hari  dengan
mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
dihormati  lagi  di  tengah-tengah  mereka  itu. Sifatnya yang
sangat  rendah  hati  lebih  kentara  lagi.  Bila   ada   yang
mengajaknya  bicara  ia  mendengarkan  hati-hati  sekali tanpa
menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
mengajaknya  bicara,  bahkan  ia rnemutarkan seluruh badannya.
Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia  mendengarkan.  Bila
bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau,  tapi
yang  dikatakannya  itu  selalu  yang  sebenarnya.  Kadang  ia
tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya
tampak sedikit berkeringat. Ini  disebabkan  ia  menahan  rasa
amarah  dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
oleh kodratnya yang selalu lapang dada,  berkemauan  baik  dan
menghargai  orang  lain.  Bijaksana  ia,  murah hati dan mudah
bergaul. Tapi  juga  ia  mempunyai  tujuan  pasti,  berkemauan
keras,   tegas  dan  tak  pernah  ragu-ragu  dalam  tujuannya.
Sifat-sifat   demikian   ini   berpadu   dalam   dirinya   dan
meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
bergaul dengan dia.  Bagi  orang  yang  melihatnya  tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
 
Alangkah  besarnya  pengaruh   yang   terjalin   dalam   hidup
kasih-sayang  antara  dia  dengan Khadijah sebagai isteri yang
sungguh setia itu.
 
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus,  juga
partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada
waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir  besar
yang   turun   dari  gunung,  pernah  menimpa  dan  meretakkan
dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak  Quraisy  memang  sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran  pencuri  mengambil  barang-barang
berharga  di  dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
bangunannya  diperkuat,  pintunya   ditinggikan   dan   diberi
beratap,  dewa  Ka'bah  yang  suci itu akan menurunkan bencana
kepada  mereka.  Sepanjang  zaman  Jahiliah   keadaan   mereka
diliputi   oleh   pelbagai   macam   legenda   yang  mengancam
barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu  perubahan.  Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
 
Tetapi  sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
adalah suatu keharusan, walaupun masih serba  takut-takut  dan
ragu-ragu.  Suatu  peristiwa  kebetulan  telah  terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
dari  Mesir  terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
seorang  ahli  bangunan   yang   mengetahui   juga   soal-soal
perdagangan.   Sesudah   Quraisy   mengetahui  hal  ini,  maka
berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy  ke  Jidah.  Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke  Mekah
guna   membantu   mereka   membangun   Ka'bah  kembali.  Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
tercapai bahwa diapun akan  bekerja  dengan  mendapat  bantuan
Baqum.
 
Sudut-sudut  Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak  dan  dibangun
kembali.  Sebelum  bertindak  melakukan  perombakan itu mereka
masih  ragu-ragu,  kuatir  akan  mendapat  bencana.   Kemudian
al-Walid   bin'l-Mughira   tampil   ke  depan  dengan  sedikit
takut-takut. Setelah ia berdoa kepada  dewa-dewanya  mulai  ia
merombak   bagian   sudut   selatan.3   Tinggal   lagi   orang
menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan  nanti  terhadap
al-Walid.  Tetapi  setelah  ternyata  sampai  pagi tak terjadi
apa-apa, merekapun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan
batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
 
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
situ  dengan  pacul  tidak  berhasil,  dibiarkannya  batu  itu
sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
sekarang  orang-orang  Quraisy  mulai  mengangkuti   batu-batu
granit  berwarna  biru,  dan  pembangunanpun  segera  dimulai.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan  tiba  saatnya
meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan  Quraisy,
siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan  itu  sehingga
hampir   saja   timbul   perang  saudara  karenanya.  Keluarga
Abd'd-Dar  dan  keluarga  'Adi  bersepakat  takkan  membiarkan
kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
ini. Untuk itu  mereka  mengangkat  sumpah  bersama.  Keluarga
Abd'd-Dar  membawa  sebuah  baki  berisi  darah. Tangan mereka
dimasukkan ke dalam baki itu guna  memperkuat  sumpah  mereka.
Karena  itu  lalu  diberi  nama  La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
darah.'
 
Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang  yang
tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah
melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
 
"Serahkanlah putusan kamu ini di  tangan  orang  yang  pertama
sekali memasuki pintu Shafa ini."
 
Tatkala  mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya."
 
Lalu   mereka  menceritakan  peristiwa  itu  kepadanya.  Iapun
mendengarkan  dan  sudah  melihat  di   mata   mereka   betapa
berkobarnya  api  permusuhan  itu.  Ia berpikir sebentar, lalu
katanya:  "Kemarikan  sehelai  kain,"  katanya.  Setelah  kain
dibawakan   dihamparkannya   dan   diambilnya  batu  itu  lalu
diletakkannya  dengan  tangannya  sendiri,  kemudian  katanya;
"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
 
Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu
akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
 
Quraisy  menyelesaikan   bangunan   Ka'bah   sampai   setinggi
delapanbelas  hasta    11 meter), dan ditinggikan dari tanah
sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau  melarang
orang  masuk.  Di  dalam  itu mereka membuat enam batang tiang
dalam dua deretan dan di sudut barat  sebelah  dalam  dipasang
sebuah  tangga  naik  sampai  ke teras di atas lalu meletakkan
Hubal  di  dalam  Ka'bah.  Juga  di  tempat   itu   diletakkan
barang-barang  berharga  lainnya,  yang  sebelum  dibangun dan
diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
 
Mengenai umur Muhammad waktu  membina  Ka'bah  dan  memberikan
keputusannya   tentang  batu  itu,  masih  terdapat  perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
jelas  cepatnya  Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
memasuki pintu Shafa,  disusul  dengan  tindakannya  mengambil
batu  dan  diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,  menunjukkan  betapa
tingginya  kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
 
Adanya   pertentangan   antar-kabilah,   adanya   persepakatan
La'aqat'd-Dam   ('Jilatan  Darah'),  dan  menyerahkan  putusan
kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
 
Kekuasaan   yang   dulu   ada   pada   Qushayy,   Hasyim   dan
Abd'l-Muttalib   sekarang   sudah   tak   ada   lagi.   Adanya
pertentangan  kekuasaan  antara  keluarga  Hasyim dan keluarga
Umayya   sesudah   matinya   Abd'l-Muttalib    besar    sekali
pengaruhnya.
 
Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja  tidak  karena
adanya  rasa  kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar  pula,  yakni  menambah  adanya kemerdekaan berpikir dan
kebebasan  menyatakan  pendapat,  dan  menimbulkan  keberanian
pihak  Yahudi  dan  kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
mereka  lakukan  sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
dengan  hilangnya  pemujaan  berhala-berhala  itu  dalam  hati
penduduk  Mekah  dan  orang-orang  Quraisy  sendiri,  meskipun
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa  agama
yang  berlaku  itu  adalah  salah  satu alat yang akan menjaga
ketertiban  serta  menghindarkan  adanya  kekacauan  berpikir.
Dengan  adanya  penyembahan-penyembahan  berhala dalam Ka'bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat  keagamaan  dan
perdagangan.   Dan   memang  demikianlah  sebenarnya,  dibalik
kedudukan  ini  Mekah  dapat  juga  menikmati  kemakmuran  dan
hubungan  dagangnya.  Akan  tetapi  itu  tidak  akan  mengubah
hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
 
Ada beberapa keterangan yang  menyebutkan,  bahwa  pada  suatu
hari  masyarakat  Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
berhala  'Uzza;  empat  orang  di  antara   mereka   diam-diam
meninggalkan  upacara  itu.  Mereka  itu  ialah: Zaid b. 'Amr,
Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah  b.  Jahsy  dan  Waraqa  b.
Naufal.
 
Mereka  satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
ini tidak punya tujuan; mereka dalam  kesesatan.  Apa  artinya
kita  mengelilingi  batu  itu: memdengar tidak, melihat tidak,
merugikan tidak,  menguntungkanpun  juga  tidak.  Hanya  darah
korban  yang  mengalir  di  atas  batu  itu.  Saudara-saudara,
marilah kita mencari agama lain, bukan ini."
 
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
Konon  katanya  dia  yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy  masih  tetap  kabur  pendiriannya.
Kemudian  masuk  Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
-  Umm  Habiba  bint  Abi  Sufyan  - tetap dalam Islam, sampai
kemudian  ia   menjadi   salah   seorang   isteri   Nabi   dan
Umm'l-Mu'minin.
 
Zaid  b.  'Amr  malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
Tetapi  dia  tidak  mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
atau Nasrani. Juga dia meninggalkan  agama  masyarakatnya  dan
menjauhi  berhala.  Dialah  yang  berkata, sambil bersandar ke
dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui,  dengan  cara
bagaimana  yang  lebih  Kausukai  aku  menyembahMu, tentu akan
kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."
 
Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan  Khadijah,
pergi  ke  Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.  Disebutkan  juga,
bahwa  ia  mengharapkan  Mekah  akan berada di bawah kekuasaan
Rumawi dan dia berambisi  ingin  menjadi  Gubernurnya.  Tetapi
penduduk  Mekah  mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan  ke  Mekah.
Tetapi  hadiah-hadiah  penduduk  Mekah sampai juga kepada Banu
Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
 
Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk
Mekah  dalam  kehidupan  masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang  subur
dan  penuh  kasih,  menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
dijuluki  at-Tahir  dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu  yang  patut  dicatat.  Tetapi yang pasti kematian itu
meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua  mereka.  Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
 
Pada  tiap  kematian  itu  dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa  berhalanya
itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
melimpahkan rasa kasihan, sehingga  dia  mendapat  kemalangan,
ditimpa   kesedihan  berulang-ulang!?  Perasaan  sedih  karena
kematian  anak  demikian  sudah  tentu  dirasakan  juga   oleh
suaminya.  Rasa  sedih  ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada istennya, terlihat setiap ia  pulang  ke  rumah
duduk-duduk di sampingnya
 
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
sedih  demikian  itu,  pada  suatu  zaman   yang   membenarkan
anak-anak  perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
laki-laki sama dengan menjaga suatu  keharusan  hidup,  bahkan
lebih  lagi  dan  itu.  Cukuplah  jadi  contoh betapa besarnya
kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
tersebut,   sehingga   ketika   Zaid  b.  Haritha  didatangkan
dimintanya   kepada   Khadijah   supaya   dibelinya   kemudian
dimerdekakannya.   Waktu   itu   orang  menyebutnya  Zaid  bin
Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia
menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
pula.   Kesedihan  demikian  ini  timbul  juga  sesudah  Islam
mengharamkan  menguburkan  anak  perempuan  hidup-hidup,   dan
sesudah  menentukan  bahwa  sorga berada di bawah telapak kaki
ibu.
 
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad  dengan  kematian
kedua   anaknya   berpengaruh   juga   dalam   kehidupan   dan
pemikirannya.  Sudah  tentu  pula  pikiran  dan   perhatiannya
tertuju  pada  kemalangan  yang  datang  satu  demi  satu  itu
menimpa,  yang  oleh  Khadijah  dilakukan  dengan   membawakan
sesajen  buat  berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
 
Ia  ingn  menebus  bencana  kesedihan  yang  menimpanya.  Akan
tetapi,   semua  kurban-kurban  dan  penyembelihan  itu  tidak
berguna sama sekali.
 
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad  memberikan
perhatian,  dengan  mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan  dengan
Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
dengan Khadijah -  seorang  pemuda  yang  dihargai  masyarakat
karena   kejujuran  dan  suksesnya  dalam  dunia  perdagangan.
Perkawinan  ini  serasi  juga,  sekalipun   kemudian   sesudah
datangnya  Islam  -  ketika  Zainab  akan  hijrah dan Mekah ke
Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat  lebih
terperinci  nanti.  Ruqayya  dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua  isteri
ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
menyuruh kedua anaknya itu  menceraikan  isteri  mereka,  yang
kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
 
Ketika  itu  Fatimah  masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.
 
Sudah  menjadi  kebiasaan  orang-orang  Arab  masa  itu  bahwa
golongan berpikir mereka  selama  beberapa  waktu  tiap  tahun
menjauhkan   diri   dari   keramaian   orang,  berkhalwat  dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa  dan
berdoa,    mengharapkan   diberi   rejeki   dan   pengetahuan.
Pengasingan  untuk  beribadat  semacam  ini   mereka   namakan
tahannuf dan tahannuth.6
 
Di  tempat  ini  rupanya  Muhammad mendapat tempat yang paling
baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam
dirinya.  Juga  di  tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam
dinnya serta obat penawar hasrat hati yang  ingin  menyendiri,
ingin  mencari  jalan  memenuhi kerinduannya yang selalu makin
besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui  rahasia  alam
semesta.
 
Di  puncak  Gunung  Hira,  - sejauh dua farsakh7 sebelah utara
Mekah -terletak  sebuah  gua  yang  baik  sekali  buat  tempat
menyendiri  dan  tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun
ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan
bekal  sedikit  yang  dibawanya.  Ia  tekun dalam renungan dan
ibadat,  jauh  dari  segala  kesibukan  hidup  dan   keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
 
Demikian  kuatnya  ia  merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan,  lupa  segala  yang
ada  dalam  hidup  ini.  Sebab,  segala  yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya,  bukanlah  suatu  kebenaran.  Di
situ  ia  mengungkapkan  dalam  kesadaran batinnya segala yang
disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan  segala  prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.
 
Ia  tidak  berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat
dalam  kisah-kisah  lama  atau  dalam   tulisan-tulisan   para
pendeta,  melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit
dan bintang-bintang, dalam bulan dan  matahari,  dalam  padang
pasir  di  kala  panas  membakar  di bawah sinar matahari yang
berkilauan.  Atau  di  kala  langit  yang  jernih  dan  indah,
bermandikan  cahaya  bulan  dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala  yang  ada
di  balik  itu,  yang  ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia  mencari
Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia
menyendiri demikian jiwanya  membubung  tinggi  akan  mencapai
hubungan   dengan  alam  semesta  ini,  menembusi  tabir  yang
menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan  yang
panjang  guna  mengetahui  bahwa  apa  yang oleh masyarakatnya
dipraktekkan dalam soal-soal  hidup  dan  apa  yang  disajikan
sebagai  kurban-kurban  untuk  tuhan-tuhan  mereka  itu, tidak
membawa  kebenaran  samasekali.  Berhala-berhala  yang   tidak
berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki,
tak dapat memberi perlindungan kepada  siapapun  yang  ditimpa
bahaya.  Hubal,  Lat  dan  'Uzza,  dan semua patung-patung dan
berhala-berhala  yang  terpancang  di  dalam  dan  di  sekitar
Ka'bah,  tak  pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau
akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
 
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan  di  mana
kebenaran  dalam  alam  semesta  yang  luas  ini,  luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah  barangkali  dalam  bintang  yang  berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada  manusia,  dari  sana
pula  hujan  diturunkan,  sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari  cahaya
dan  kehangatan  udara?  Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain
adalah  benda-benda  langit  seperti  bumi  ini   juga.   Atau
barangkali  di  balik  benda-benda  itu terdapat eter yang tak
terbatas, tak berkesudahan?
 
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami  sekarang,  dan
besok  akan  berkesudahan?  Apa  asalnya,  dan  apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan  pula  kita
di  dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak  mungkin
bila  dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia,
kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri,
ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia
memilih yang lain?
 
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu,  itu  juga
yang  dipikirkan  Muhammad  selama  ia  mengasingkan  diri dan
bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran  itu  dan
melihat   hidup  itu  seluruhnya.  Pemikirannya  itu  memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang  dan  malam  hal  ini menderanya terus menerus. Bilamana
bulan Ramadan sudah berlalu dan ia  kembali  kepada  Khadijah,
pengaruh  pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin  lega  hatinya  bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
 
Dalam  melakukan  ibadat  selama  dalam  tahannuth  itu adakah
Muhammad menganut sesuatu  syariat  tertentu?  Dalam  hal  ini
ulama-ulama  berlainan  pendapat.  Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai
syariat  yang  digunakannya  melakukan  ibadat  itu:  Ada yang
mengatakan menurut syariat Nuh, ada  yang  mengatakan  menurut
Ibrahim,  yang  lain  berkata  menurut  syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan  ada  pula  yang  mengatakan,  yang
lebih  dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali  pendapat  yang  terakhir  ini  lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar
renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
 
Tahun telah berganti tahun dan  kini  telah  tiba  pula  bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi
sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah
beberapa  tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi  hakiki  yang  memancarkan
cahaya  kebenaran  yang  selama ini dicarinya Bersamaan dengan
itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan
segala macam kemewahan yang tiada berguna.
 
Ketika  itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari
jalan yang benar, dan  hidup  kerohanian  mereka  telah  rusak
karena    tunduk    kepada    khayal   berhala-berhala   serta
kepercayaan-kepercayaan  semacamnya  yang  tidak  kurang  pula
sesatnya.  Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa  yang  disebutkan  mereka  itu masing masing memang benar;
tapi masih mengandung  bermacam-macam  takhayul  dan  pelbagai
macam  cara  paganisma,  yang  tidak  mungkin  sejalan  dengan
kebenaran  sejati,  kebenaran  mutlak  yang  sederhana,  tidak
mengenal   segala  macam  spekulasi  perdebatan  kosong,  yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan  Ahli  Kitab  itu.  Dan
Kebenaran  itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam.
Dialah  Maha  Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia   dinilai   berdasarkan   perbuatannya.   "Barangsiapa
mengerjakan  kebaikan  seberat  atompun  akan  dilihatNya. Dan
barangsiapa  mengerjakan  kejahatan   seberat   atompun   akan
dilihatNya  pula."  (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar
adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan
kediaman yang paling durhaka.
 
Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun.  Pergi  ia  ke
Hira'  melakukan  tahannuth.  Jiwanya  sudah  penuh  iman atas
segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi  hakiki  itu.  Ia
telah  membebaskan  diri  dari  segala  kebatilan. Tuhan telah
mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh  kalbu
ia  menghadapkan  diri  ke  jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan  seluruh
jiwanya  agar  dapat  memberikan  hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
 
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah  malam,
kalbu  dan  kesadarannya  dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa,
dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia  turun  dari
gua  itu,  melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali
ke tempatnya berkhalwat,  hendak  menguji  apa  gerangan  yang
berkecamuk  dalam  perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat
dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan  selama  enam  bulan,
sampai-sampai  ia  merasa  kuatir  akan  membawa  akibat  lain
terhadap  dirinya.  Oleh  karena  itu   ia   menyatakan   rasa
kekuatirannya  itu  kepada  Khadijah dan menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau  itu  adalah  gangguan
jin.
 
Tetapi  isteri  yang  setia  itu  dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin  akan
mendekatinya,  sekalipun  memang tidak terlintas dalam pikiran
isteri  atau  dalam  pikiran  suami  itu,  bahwa  Allah  telah
mempersiapkan  pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang
dahsyat,  yaitu  saat  datangnya  wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
 
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam  gua  itu,  ketika
itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya
tak   dapat   membaca".   Ia   merasa   seolah  malaikat  itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan  lagi  seraya  katanya  lagi:
"Bacalah!"  Masih  dalam  ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya  malaikat  itu
berkata:  "Bacalah!  Dengan  nama  Tuhanmu  Yang  menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan  Tuhanmu
Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
 
Lalu ia mengucapkan bacaan  itu.  Malaikatpun  pergi,  setelah
kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
 
Tetapi  kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya:  Gerangan  apakah  yang  dilihatnya?!  Ataukah
kesurupan  yang  ditakutinya  itu  kini  telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi  tak  melihat  apa-apa.  Ia
diam  sebentar,  gemetar  ketakutan.  Kuatir  ia akan apa yang
terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan.   Tak  dapat  ia  menafsirkan  apa  yang  telah
dilihatnya itu.
 
Cepat-cepat ia  pergi  menyusuri  celah-celah  gunung,  sambil
bertanya-tanya  dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya
membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara
dia  dalam  tahannuth,  ialah  mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya  jadi  terang-benderang,  menunjukkan kepadanya, di
mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu  menjerumuskan
masyarakat  Quraisy  ke dalam lembah paganisma dan penyembahan
berhala, jadi terbuka.
 
Sinar  terang-benderang  yang  memancar  di   hadapannya   dan
kebenaran  yang  telah  menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa.  Tetapi  siapakah  yang  telah  memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia
dan bahwa Dia  Yang  Maha  Pemurah,  Yang  mengajarkan  kepada
manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
 
Ia  memasuki  pegunungan  itu  masih  dalam  ketakutan,  masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.
Dahsyat   sekali  terasa.  Ia  melihat  ke  permukaan  langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk  manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun
ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu.
Tetapi  dia  masih  juga  melihatnya  di  seluruh ufuk langit.
Sebentar  melangkah  maju  ia,  sebentar  mundur,  tapi   rupa
malaikat  yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Seketika lamanya ia dalam keadaan  demikian.  Dalam  pada  itu
Khadijah  telah  mengutus  orang  mencarinya ke dalam gua tapi
tidak menjumpainya.
 
Setelah rupa malaikat itu  menghilang  Muhammad  pulang  sudah
berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah  sambil
ia  berkata:  "Selimuti  aku!"  Ia segera diselimuti. Tubuhnya
menggigil seperti dalam  demam.  Setelah  rasa  ketakutan  itu
berangsur  reda  dipandangnya  isterinya dengan pandangan mata
ingin mendapat kekuatan.
 
"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian  diceritakannya  apa
yang  telah  dilihatnya,  dan dinyatakannya rasa kekuatirannya
akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi  seperti  juru
nujum saja.
 
Seperti  juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya  akan  kesurupan   Khadijah   yang   penuh   rasa
kasih-sayang,  adalah  tempat  ia  melimpahkan  rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang  sedang  dalam
kekuatiran  dan  dalam  gelisah.  Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:
 
"O  putera  pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi
Dia Yang  memegang  hidup  Khadijah,10  aku  berharap  kiranya
engkau  akan  menjadi  Nabi  atas  umat  ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat  tali
kekeluargaan,  jujur  dalam  kata-kata,  kau  yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang
dalam kesulitan atas jalan yang benar."
 
Muhammad  sudah  merasa  tenang kembali. Dipandangnya Khadijah
dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya
sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur  untuk  kemudian  bangun  kembali  membawa  suatu
kehidupan  rohani  yang  kuat,  yang  luarbiasa kuatnya. Suatu
kellidupan  yang  sungguh  dahsyat  dan  mempesonakan.  Tetapi
kehidupan  yang  penuh  pengorbanan,  yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah
Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat
manusia dengan cara  yang  lebih  baik,  sehingga  sempurnalah
cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR  (1/4)
Muhammad Husain Haekal
 
   Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal - Wahyu
   terhenti - Islamnya Abu Bakr - Muslimin yang mula-mula
   - Ajakan Muhammad kepada keluarganya - Quraisy
   menghasut penyair-penyairnya terhadap Muhammad -
   Muhammad menista dewa-dewa Quraisy - Utusan Quraisy
   kepada Abu Talib - Kedudukan Muhammad terhadap
   pamannya - Quraisy menyiksa kaum Muslimin - Kaum
   Muslimin hijrah ke Abisinia - Islamnya Umar.
 
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan  hati  penuh
kasih  dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi
mengajaknya bicara itu.
 
Setelah  dilihatnya  ia  tidur  nyenyak,  nyenyak  dan  tenang
sekali,  ditinggalkannya  orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan  pikiran  masih  pada  orang  itu,  orang  yang  pernah
menggoncangkan  hatinya.  Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami
itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam
kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama  yang
benar  serta  akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa
kuatir  sekali,  kuatir  akan nasib suami yang setia dan penuh
kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang  telah
diceritakan  kepadanya  itu.  Dibayangkannya itu malaikat yang
begitu indah, yang memperlihatkan  diri  di  angkasa,  setelah
menyampaikan  wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi
seluruh ruangan itu. Selalu ia  melihat  malaikat  itu  kemana
saja  ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata
yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
 
Semua itu dibentangkan kembali oleh  Khadijah  di  depan  mata
hatinya  Kadang  terkembang  senyum  di  bibir,  karena  suatu
harapan; kadang kecut juga rasanya, karena  takut  akan  nasib
yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
 
Tidak  tahan  ia  tinggal  seorang  diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah  dari  harapan  yang   manis   sedap   kepada
kesangsian   dan  harap-harap  cemas.  Terpikir  olehnya  akan
mencurahkan segala isi hatinya itu  kepada  orang  yang  sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
 
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak
paman), Waraqa b. Naufal.  Seperti  sudah  disebutkan,  Waraqa
adalah  seorang  penganut  agama  Nasrani  yang sudah mengenal
Bible dan  sudah  pula  menterjemahkannya  sebagian  ke  dalam
bahasa  Arab.  Ia  menceritakan  apa  yang  pernah dilihat dan
didengar Muhammad dan menceritakan  pula  apa  yang  dikatakan
Muhammad  kepadanya,  dengan  menyebutkan  juga rasa kasih dan
harapan yang  ada  dalam  dirinya.  Waraqa  menekur  sebentar,
kemudian  katanya:  "Maha  Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang
memegang  hidup  Waraqa.  Khadijah,  percayalah,   dia   telah
menerima  Namus  Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan
sungguh dia adalah Nabi umat  ini.  Katakan  kepadanya  supaya
tetap tabah."
 
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih  dan  penuh  ikhlas,  bercampur
harap  dan  cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia
menggigil, napasnya terasa sesak dengan  keringat  yang  sudah
membasahi   wajahnya.   Ia   terbangun,  manakala  didengarnya
malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
 
"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan  peringatan.
Dan  agungkan  Tuhanmu.  Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan
perbuatan dosa. Jangan  kau  memberi,  karena  ingin  menerima
lebih  banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:
17)
 
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa  kasih  yang  lebih
besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya
kembali ia tidur dan beristirahat.
 
"Waktu tidur dan istirahat  sudah  tak  ada  lagi,  Khadijah,"
jawabnya.   "Jibril   membawa   perintah  supaya  aku  memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak  mereka,  dan  supaya
mereka  beribadat  hanya  kepada  Allah.  Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
 
Khadijah  berusaha  menenteramkan  hatinya.   Cepat-cepat   ia
menceritakan  apa  yang  didengarnya  dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat  sekali  kemudian  ia  menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila
Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia  sudah  mengenalnya
benar.  Selama  hidupnya  laki-laki  itu  selalu  jujur, orang
berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang.  Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar
kecenderungannya  kepada  kebenaran,   dan   hanya   kebenaran
semata-mata.  Ia  mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa,
kalbu  dan  pikiran  yang  sudah  begitu   tinggi,   membubung
melampaui  jangkauan  yang  akan  dapat  dibayangkan  manusia,
manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban  ke
sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat
mendatangkan  bencana  dan  keuntungan.  Mereka  membayangkan,
bahwa  itu  patut  disembah  dan  diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia  pada  tahun-tahun  masa  tahannuth
itu.  Juga  ia  melihatnya  betapa  benar  keadaannya  tatkala
pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah  kerasulannya.
Ia  bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat
itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
 
Bilamana  kemudian  Muhammad  melihat  malaikat  itu   datang,
didudukannya  ia  oleh  Khadijah  di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di  pangkuannya.  Malaikat  itupun  masih  juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya.
Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi  melihatnya.  Khadijah
tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
 
Sesudah  peristiwa  itu,  pada  suatu hari Muhammad pergi akan
mengelilingi  Ka'bah.  Di  tempat   itu   Waraqa   b.   Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa
berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa.  Engkau  adalah
Nabi  atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti
yang  pernah  disampaikan  kepada  Musa.  Pastilah   kau   akan
didustakan   orang,   akan   disiksa,  akan  diusir  dan  akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup,  pasti
aku  akan  membela  yang  di pihak Allah dengan pembelaan yang
sudah diketahuiNya pula." Lalu  Waraqa  mendekatkan  kepalanya
dan  mencium  ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan
adanya kejujuran dalam kata-kata  Waraqa  itu,  dan  merasakan
pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
 
Sekarang  ia  jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy
supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan  kebatilan  itu.  Mereka bersedia berperang dan
mati untuk itu. Ditambah  lagi  mereka  masih  sekeluarga  dan
sanak famili yang dekat.
 
Sungguhpun  begitu,  tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa
yang  dianjurkannya  kepada  mereka,  itulah  yang  benar.  Ia
mengajak  mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih
tinggi sehingga dapat  berhubungan  dengan  Allah  Yang  telah
menciptakan  mereka  dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas,  dengan
jiwa  yang  bersih,  untuk  agama.  Ia  mengajak mereka supaya
mereka mendekatkan diri kepada  Allah  dengan  perbuatan  yang
baik,  dengan  memberikan  kepada  orang  berdekatan,  hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam  perjalanan;  agar
mereka  menjauhkan  diri  dari menyembah batu-batu yang mereka
buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka  akan  mengampuni
segala  dosa  mereka  dari perbuatan angkara-murka yang mereka
lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta  anak  piatu.
Penyembahan  mereka  demikian itu membuat jiwa dan hati mereka
lebih keras dan  lebih  membatu  dari  patung-patung  itu.  Ia
memperingatkan  mereka  agar  mereka mau melihat ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan  di  bumi;  supaya  semua  itu  menjadi
tamsil  dalam  jiwa  mereka  serta  kemudian  menyadari betapa
dahsyat dan agungnya  semua  itu.  Dengan  kesadaran  demikian
mereka   akan  memahami  kebesaran  undang-undang  Ilahi  yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya,  dengan  ibadatnya
itu  akan  memahami  pula  kebesaran  Al  Khalik Pencipta alam
semesta ini, Yang Tunggal, tiada  bersekutu.  Dengan  demikian
mereka  akan  lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi
oleh rasa kasih-sayang terhadap  mereka  yang  belum  mendapat
petunjuk  Tuhan,  dan  akan  berusaha ke arah itu. Mereka akan
berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap  semua  orang
yang   malang   dan   lemah.   Ya!   Ke   arah   itulah  Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.
 
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu  keras,  jiwa  yang
sudah  begitu  kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala
seperti yang dilakukan oleh  nenek-moyang  mereka  dahulu.  Di
tempat  itu  mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat
kunjungan penyembah berhala! Akan mereka  tinggalkankah  agama
nenek-moyang  mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka
yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak  ada  lagi  orang
yang   akan   menyembah  berhala?  Lalu  bagaimana  pula  akan
membersihkan jiwa serupa itu dan  melepaskan  diri  dari  noda
hawa-nafsu,  hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai
kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan
manusia  supaya  mengatasi  nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau  mereka  sudah  tidak  mau  percaya
kepadanya,  apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi
masalah besar itu.
 
Ia  sedang  menantikan  bimbingan   wahyu   dalam   menghadapi
masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi
jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak
datang  lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu.
Ia merasa terasing dari orang, dan dari  dirinya.  Kembali  ia
merasa  dalam  ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon
Khadijah pernah mengatakan  kepadanya:  "Mungkin  Tuhan  tidak
menyukai engkau."
 
Ia  masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya
lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi  dalam  gua
Hira'.  Ia  ingin  membubung  tinggi  dengan  seluruh jiwanya,
menghadapkan diri kepada Tuhan,  akan  menanyakan:  Kenapa  ia
lalu  ditinggalkan  sesudah  dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun
tidak pula kurang rasanya.
 
Ia mengharap mati benar-benar  kalau  tidak  karena  merasakan
adanya  perintah  yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi
ia kepada dirinya, kemudian kepada  Tuhannya.  Konon  katanya:
Pernah  terpikir  olehnya  akan  membuang diri dari atas Hira'
atau dari atas puncak gunung  Abu  Qubais.  Apa  gunanya  lagi
hidup  kalau  harapannya  yang  besar  ini  jadi  kering  lalu
berakhir?
 
Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian  itu  -  sesudah
sekian  lama  terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman
Tuhan:
 
"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan  demi  malam  bila  senyap
kelam.  Tuhanmu  tidak  meninggalkan  kau,  juga  tidak merasa
benci. Dan sungguh, hari kemudian  itu  lebih  baik  buat  kau
daripada  yang  sekarang.  Dan  akan segera ada pemberian dari
Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang  hati.  Bukankah
Ia   mendapati   kau  seorang  piatu,  lalu  diberiNya  tempat
berlindung?  Dan  Ia  mendapati  kau  tak  tahu  jalan,   lalu
diberiNya  kau  petunjuk?  Karena  itu,  terhadap  anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang  orang  yang  meminta,
jangan  kau  tolak.  Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)
 
Maha Mulia Allah.  Betapa  damainya  itu  dalam  jiwa.  Betapa
gembira  dalam  hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya  hilang  sudah.   Terbayang   senyum   di   wajahnya.
Bibirnyapun  mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan
penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut,  bahwa  Tuhan
sudah  tidak  menyukai  Muhammad  dan  iapun tidak lagi merasa
takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua
dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang
sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.
 
Yang ada sekarang ialah hidup dan  ajakan  kepada  Allah,  dan
hanya  kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar
menundukkan kepala. Segala yang ada  di  langit  dan  di  bumi
bersujud  belaka  kepadaNya.  Hanya  Dialah Yang Hak, dan yang
selain  itu  batil  adanya.  Hanya  kepadaNya   hati   manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya
pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih  baik
buat kau daripada yang sekarang."
 
Ya,  hari  kemudian  tempat  berkumpulnya  jiwa  dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang  dan  waktu,
dan  semua  cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya.  Hari  kemudian  yang  akan  disinari   cahaya   pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di
langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa
yang  pasrah  menyerah.  Kehidupan  inilah  yang  akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu  hanya
bayangan  belaka,  yang  tiada  berguna. Kebenaran inilah yang
cahayanya disinari oleh jiwa  Muhammad,  dan  yang  baru  akan
dipantulkan  kembali  guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada  Tuhan,  ia
harus   membersihkan   pakaiannya   serta  menjauhi  perbuatan
mungkar.  Ia  harus  tabah  menghadapi  segala  gangguan  demi
menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang  meminta,
jangan  berlaku  bengis  terhadap  anak  piatu. Cukuplah Tuhan
telah memilihnya sebagai  pengemban  amanat.  Maka  katakanlah
itu.  Cukup  sudah,  bahwa  Tuhan  telah  menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya  di  bawah  asuhan  kakeknya
Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin,
telah  diberi  kekayaan   dengan   amanat   Tuhan   kepadanya.
Dipermudah  pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan
yang  penuh  cinta  kasih,  yang  memberi  nasehat dengan rasa
kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu
diberiNya   petunjuk   berupa  risalah.  Cukuplah  semua  itu.
Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.
 
Begitulah  ketentuan  Tuhan  terhadap  seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.
 
Tuhan  telah  mengajarkan  Nabi  bersembahyang,   maka   iapun
bersembahyang,  begitu  juga  Khadijah  ikut  pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali  bin
Abi  Talib  sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu
suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu
Talib  adalah  keluarga  yang  banyak anaknya. Muhammad sekali
berkata kepada Abbas, pamannya - yang  pada  masa  itu  adalah
yang  paling  mampu  di  antara  Keluarga  Hasyim:  "Abu Talib
saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang  yang
mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya
itu.  Aku  akan  mengambilnya  seorang  kaupun  seorang  untuk
kemudian kita asuh."
 
Karena  itu  Abbas  lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh
Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.
 
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali
menyeruak  masuk.  Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan
sujud serta membaca beberapa  ayat  Qur'an  yang  sampai  pada
waktu  itu  sudah  diwahyukan  kepadanya.  Anak  ifu  tertegun
berdiri:  "Kepada  siapa  kalian  sujud?"   tanyanya   setelah
sembahyang selesai.
 
"Kami  sujud  kepada  Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku
menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia  menyembah
Allah"
 
Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang  dibawa  nabi
utusanNya  dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan
'Uzza. Muhammad lalu  membacakan  beberapa  ayat  Qur'an.  Ali
sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.
 
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah
teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah
diketahuinya benar ia sebagai orang  yang  bersih,  jujur  dan
dapat  dipercaya.  Oleh  karena  itu orang dewasa pertama yang
diajaknya  menyembah   Allah   Yang   Esa   dan   meninggalkan
penyembahan  berhala,  adalah  dia. Juga dia laki-laki pertama
tempat dia membukakan isi hatinya  akan  segala  yang  dilihat
serta  wahyu  yang  diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi
memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya  itu.
Jiwa  yang  mana  lagi yang memang mendambakan kebenaran masih
akan ragu-ragu  meninggalkan  penyembahan  berhala  dan  untuk
kemudian  menyembah  Allah  Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang
masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih  mau
menyembah  batu  yang  bagaimanapun  bentuknya! Jiwa yang mana
lagi yang  sudah  bersih  masih  akan  ragu-ragu  membersihkan
pakaian  dan  jiwanya,  berderma kepada orang yang membutuhkan
dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!
 
Keimanannya  kepada  Allah  dan  kepada  RasulNya  itu  segera
diumumkan  oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang
seorang pria yang rupawan. "Menjadi  kesayangan  masyarakatnya
dan  amikal  sekali.  Dari  kalangan Quraisy ia termasuk orang
Quraisy yang berketurunan tinggi dan  yang  banyak  mengetahui
segala  seluk-beluk  bangsa  itu,  yang  baik  dan yang jahat.
Sebagai pedagang  dan  orang  yang  berakhlak  baik  ia  cukup
terkenal.   Kalangan   masyarakatnya  sendiri  yang  terkemuka
mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya  karena
ilmunya,  karena  perdagangannya  dan karena pergaulannya yang
baik."
 
Dari kalangan masyarakatnya  yang  dipercayai  oleh  Abu  Bakr
diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b.
'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b.  Abi  Waqqash  dan  Zubair
bin'l-'Awwam   mengikutinya   pula  menganut  Islam.  Kemudian
menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi  yang
lain  dari  penduduk  Mekah.  Mereka yang sudah Islam itu lalu
datang  kepada  Nabi  menyatakan  Islamnya,  yang  selanjutnya
menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.
 
Mengetahui  adanya  permusuhan  yang  begitu bengis dari pihak
Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka
kaum  Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila
mereka akan  melakukan  salat,  mereka  pergi  ke  celah-celah
gunung  di  Mekah.  Keadaan  serupa  ini  berjalan selama tiga
tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk
Mekah.  Wahyu  yang  datang  kepada  Muhammad selama itu makin
memperkuat iman kaum Muslimin.
 
Yang menambah pula dakwah  itu  berkembang  sebenarnya  karena
teladan  yang  diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh
bakti dan penuh kasih-sayang, sangat  rendah  hati  dan  penuh
kejantanan,  tutur-katanya  lemah-lembut  dan  selalu  berlaku
adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan.  Pandangannya
terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara
dan miskin adalah pandangan seorang  bapa  yang  penuh  kasih,
lemah-lembut  dan  mesra.  Malam haripun, dalam ia bertahajud,
malam ia tidak cepat tidur,  membaca  wahyu  yang  disampaikan
kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari
pertanda  dari  segenap  wujud   ini,   permohonannya   selalu
dihadapkan  hanya  kepada  Allah.  Dia. yang menyerapkan hidup
semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung  kehidupannya
sendiri,  adalah  suatu teladan yang membuat mereka yang sudah
beriman dan menyatakan diri Islam itu,  makin  besar  cintanya
kepada  Islam  dan  makin  kukuh  pula  imannya.  Mereka sudah
berketetapan  hati  meninggalkan  anutan  nenek-moyang  mereka
dengan  menanggung  segala  siksaan  kaum musyrik yang hatinya
belum lagi disentuh iman.
 
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal
arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan
arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum
yang  lemah,  semua  orang  yang sengsara dan semua orang yang
tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar
di  Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria
dan wanita.
 
Orang   banyak   bicara   tentang   Muhammad    dan    tentang
ajaran-ajarannya.   Akan  tetapi  penduduk  Mekah  yang  masih
berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya  tidak
menghiraukannya.  Mereka  menduga, bahwa kata-katanya tidakkan
lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss,
Umayya,  Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada
kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan  menang  ialah
Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai
kurban.  Mereka  lupa  bahwa  iman  yang   murni   tak   dapat
dikalahkan,   dan   bahwa   kebenaran   pasti   akan  mendapat
kemenangan.
 
Tiga  tahun  kemudian  sesudah  kerasulannya,  perintah  Allah
datang  supaya  ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan
itu, perintah  Allah  supaya  disampaikan.  Ketika  itu  wahyu
datang:
 
"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat.
Limpahkanlah  kasih-sayang  kepada  orang-orang  beriman  yang
mengikut  kau.  Kalaupun  mereka tidak mau juga mengikuti kau,
katakanlah, 'Aku lepas tangan dari  segala  perbuatan  kamu.'"
(Qur'an 26: 214-216)
 
"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak
usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94)
 
Muhammadpun  mengundang   makan   keluarga-keluarga   itu   ke
rumahnya,  dicobanya  bicara dengan mereka dan mengajak mereka
kepada  Allah.  Tetapi  Abu  Talib,  pamannya,  lalu  menyetop
pembicaraan  itu.  Ia  mengajak orang-orang pergi meninggalkan
tempat.  Keesokan  harinya  sekali  lagi  Muhammad  mengundang
mereka.
 
Selesai  makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada
seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan  sesuatu
ke  tengah-tengah  mereka  lebih  baik  dari yang saya bawakan
kepada kamu sekalian ini.  Kubawakan  kepada  kamu  dunia  dan
akhirat  yang  terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu
sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku  dalam
hal ini?"
 
Mereka    semua   menolak,   dan   sudah   bersiap-siap   akan
meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu  ia
masih anak-anak, belum lagi balig.
 
"Rasulullah,  saya  akan  membantumu,"  katanya.  "Saya adalah
lawan siapa saja yang kautentang."
 
Banu   Hasyim   tersenyum,   dan   ada   pula   yang   tertawa
terbahak-bahak.  Mata  mereka  berpindah-pindah dari Abu Talib
kepada anaknya. Kemudian mereka  semua  pergi  meninggalkannya
dengan ejekan.
 
Sesudah  itu  Muhammad  kemudian  mengalihkan  seruannya  dari
keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah.
Suatu  hari  ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat
Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu  lalu  membalas:  "Muhammad
bicara  dari  atas  Shafa."  Mereka lalu datang berduyun-duyun
sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"
 
"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa
pada  permukaan  bukit  ini  ada  pasukan  berkuda. Percayakah
kamu?"
 
"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak  pernah  disangsikan.  Belum
pernah kami melihat engkau berdusta."
 
"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang
sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf,
Banu  Zuhra,  Banu  Taim,  Banu  Makhzum  dan  Banu Asad Allah
memerintahkan     aku      memberi      peringatan      kepada
keluarga-keluargaku  terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau
akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan  yang  dapat
kuberikan  kepada  kamu,  selain  kamu  ucapkan: Tak ada tuhan
selain Allah."
 
Atau  seperti  dilaporkan:  Abu  Lahab  -  seorang   laki-laki
berbadan  gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil
meneriakkan: "Celaka kau hari ini.  Untuk  ini  kau  kumpulkan
kami?"
 
Muhammad  tak  dapat  bicara.  Dilihatnya pamannya itu. Tetapi
kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:
 
"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia.  Tak  ada
gunanya  kekayaan  dan  usahanya  itu. Api yang menjilat-jilat
akan menggulungnya" (Qur'an 102:1-8)
 
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang
lain  tidak  dapat  merintangi  tersebarnya  dakwah  Islam  di
kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja
orang  yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih
mereka yang tidak terpesona oleh  pengaruh  dunia  perdagangan
untuk   sekedar   melepaskan  renungan  akan  apa  yang  telah
diserukan kepada mereka. Mereka sudah  melihat  Muhammad  yang
berkecukupan,  baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri.
Tidak   dipedulikannya   harta   itu,    juga    tidak    akan
memperbanyaknya   lagi.   Ia   mengajak   orang   hidup  dalam
kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh
(lapang  dada,  toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu
menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan
terhadap jiwa.
 
"Kamu  telah  dilalaikan  oleh perlombaan saling memperbanyak.
Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu
ketahui  juga  nanti.  Jangan.  Kalau  kamu  mengetahui dengan
meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat  neraka.  Kemudian,  tentu
akan  kamu  lihat  itu  dengan  mata yang meyakinkan. Hari itu
kemudian baru kamu  akan  ditanyai  tentang  kesenangan  itu."
(Qur'an 111: 1-3)
 
Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu!
Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang  tak
ada  batasnya.  Kebebasan  yang  sungguh  bernilai bagi setiap
manusia Arab itu, sama  dengan  nilai  hidupnya  sendiri!  Ya!
Bukankah  orang  mau  melepaskan  diri  dari  belenggu  dengan
pengabdian  yang  bagaimanapun  selain  pengabdiannya   kepada
Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada
Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari  orang
Mesir,  tak  ada  bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin
(pengikut-pengikut Isa),  tak  ada  seorang  manusiapun,  atau
malaikat  ataupun  jin  yang  akan  menjadi batas antara Allah
dengan manusia. Di hadapan Allah,  hanya  di  hadapanNya  Yang
Tunggal     tak     bersekutu,     manusia    akan    dimintai
pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan,
yang  baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah
yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang  akan  menimbang
semua  perbuatan.  Hanya  itulah  yang  berkuasa atas dirinya.
Dengan itulah dipertanggungkan  ketika  setiap  jiwa  mendapat
balasan  sesuai  dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang
lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad  itu?  Adakah  Abu
Lahab  dan  kawan-kawannya  mengajarkan  yang  semacam  itu  -
sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan  supaya  manusia
tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni
oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah
menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?
 
Akan  tetapi  Abu  Lahab,  Abu  Sufyan dan bangsawan-bangsawan
Quraisy  terkemuka  lainnya,  hartawan-hartawan   yang   gemar
bersenang-senang,  mulai  merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu
merupakan  bahaya  besar  bagi  kedudukan  mereka.  Jadi  yang
mula-mula  harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara
mendiskreditkannya,   dan   mendustakan   segala   apa    yang
dinamakannya kenabian itu.
 
Langkah  pertama  yang  mereka  lakukan  dalam  hal  ini ialah
membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr
bin'l-'Ash  dan  Abdullah  ibn'z-Ziba'ra,  supaya mengejek dan
menyerangnya. Dalam pada  itu  penyair-penyair  Muslimin  juga
tampil  membalas  serangan  mereka tanpa Muhammad sendiri yang
harus melayani.
 
Sementara  itu,  selain  penyair-penyair  itu  beberapa  orang
tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan
dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat  seperti  pada
Musa  dan  Isa.  Kenapa  bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak
disulapnya menjadi emas, dan  kitab  yang  dibicarakannya  itu
dalam  bentuk  tertulis  diturunkan  dari  langit?  Dan kenapa
Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak  muncul
di  hadapan  mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang
yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat
Mekah  terkurung  karenanya?  Kenapa ia tidak memancarkan mata
air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam,  padahal  ia  tahu
betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
 
Tidak   hanya  sampai  disitu  saja  kaum  musyrikin  itu  mau
mengejeknya dalam soal-soal  mujizat,  malahan  ejekan  mereka
makin  menjadi-jadi,  dengan  menanyakan:  kenapa Tuhannya itu
tidak memberikan wahyu tentang  harga  barang-barang  dagangan
supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?
 
Debat  mereka  itu  berkepanjangan.  Tetapi  wahyu yang datang
kepada Muhammad menjawab debat mereka
 
"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan  atau  menolak
bahaya  untuk  diriku  sendiri,  kalau  tidak  dengan kehendak
Allah. Dan sekiranya aku mengetahui  yang  gaib-gaib,  niscaya
kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku.
Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa  berita  gembira
bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188)
 
Ya,  Muhammad  hanya  mengingatkan dan membawa berita gembira.
Bagaimana mereka akan  menuntutnya  dengan  hal-hal  yang  tak
masuk  akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali
yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?
!   Bagaimana   mereka   menuntutnya   dengan   hal-hal   yang
bertentangan dengan  kodrat  jiwa  yang  tinggi  padahal  yang
diharapkannya  dari mereka agar mereka mau menerima suara yang
sesuai dengan kodrat jiwa yang  tinggi  itu?!  Bagaimana  pula
mereka  masih  menuntutnya  dengan  beberapa  mujizat, padahal
kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan
yang  benar  itu  adalah  mujizat  dari segala mujizat? Kenapa
mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu  diperkuat  lagi
dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu
nanti merekapun  akan  ragu-ragu  lagi,  akan  mengikutinyakah
mereka atau tidak?
 
Dan  ini,  yang  mereka  katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak
lebih  adalah  batu-batu  atau   kayu   yang   disangga   atau
berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang
tidak  dapat  membawa   kebaikan   ataupun   menolak   bahaya.
Sungguhpun  begitu  mereka  menyembahnya  juga, tanpa menuntut
pembuktian sifat-sifat ketuhanannya.  Dan  kalaupun  itu  yang
dituntut,  pasti  ia  akan  tetap batu atau kayu, tanpa hidup,
tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau
membawa  kebaikan.  Dan  jika ada yang datang menghancurkannya
iapun takkan dapat mempertahankan diri.
 
Muhammadpun  sudah  terang-terangan  menyebut  berhala-berhala
mereka,  yang  sebelum  itu  tidak pernah disebut-sebutnya. Ia
mencelanya, yang  juga  sebelum  itu  tidak  pernah  dilakukan
demikian.   Hal  ini  menjadi  soal  besar  bagi  Quraisy  dan
dirasakan menusuk hati mereka. Tentang  laki-laki  itu,  serta
apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia,
sekarang  mulai  sungguh-sungguh  menjadi  perhatian   mereka.
Sampai   sebegitu   jauh   mereka   baru   sampai   memperolok
kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa,3 atau
disekitar  Ka'bah  dengan berhala-berhala yang ada, membuallah
mereka dengan sikap tidak lebih  dari  senyuman  mengejek  dan
berolok-olok.  Akan  tetapi,  jika  yang dihina dan diejek itu
sekarang dewa-dewa mereka  yang  mereka  sembah  dan  disembah
nenek-moyang  mereka,  termasuk  Hubal,  Lat,  'Uzza dan semua
berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan  cemoohan,
melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau,
andaikata orang itu  sampai  dapat  menghasut  penduduk  Mekah
melawan  mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil
apa yang akan diperolehnya dari  perdagangan  Mekah  itu?  Dan
bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?
 
Abu  Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia
sebagai pelindung  dan  penjaga  kemenakannya  itu.  Ia  sudah
menyatakan   kesediaannya  akan  membelanya.  Atas  dasar  itu
pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan  diketahui  oleh  Abu
Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.
 
"Abu  Talib,"  kata  mereka,  "kemenakanmu  itu  sudah  memaki
berhala-berhala kita, mencela  agama  kita,  tidak  menghargai
harapan-harapan  kita  dan menganggap sesat nenek-moyang kita.
Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau  tidak  biarlah
kami  sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga
seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah  engkau  dari  pihak
kami menghadapi dia."
 
Akan  tetapi  Abu  Talib  menjawab  mereka dengan baik sekali.
Sementara itu Muhammad  juga  tetap  gigih  menjalankan  tugas
dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.
 
Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi
mereka pergi menemui Abu Talib.  Sekali  ini  disertai  'Umara
bin'l-Walid  bin'l-Mughira,  seorang  pemuda  yang  montok dan
rupawan, yang akan diberikan kepadanya  sebagai  anak  angkat,
dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka.
Tetapi inipun ditolak.  Muhammad  terus  juga  berdakwah,  dan
Quraisypun terus juga berkomplot.
 
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.
 
"Abu   Talib'"   kata   mereka,  "Engkau  sebagai  orang  yang
terhormat, terpandang  di  kalangan  kami.  Kami  telah  minta
supaya   menghentikan   kemenakanmu   itu,   tapi  tidak  juga
kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap  orang  yang
memaki  nenek-moyang  kita,  tidak  menghargai harapan-harapan
kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum  kausuruh  dia
diam  atau  sama-sama  kita  lawan dia hingga salah satu pihak
nanti binasa."
 
Berat sekali bagi Abu  Talib  akan  berpisah  atau  bermusuhan
dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau
membuat kemenakannya  itu  kecewa.  Gerangan  apa  yang  harus
dilakukannya?
 
Dimintanya  Muhammad  datang  dan diceritakannya maksud seruan
Quraisy. Lalu  katanya:  "Jagalah  aku,  begitu  juga  dirimu.
Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul."
 
Muhammad  menekur  sejenak,  menekur  berhadapan dengan sebuah
sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak  tahu
hendak  ke  mana  tujuannya.  Dalam  kata-kata  yang  kemudian
menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi
dunia:  adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus
dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan  Kristen  yang  sudah
gagal   dan   kacau,  dan  dengan  demikian  paganisma  dengan
kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah  rapuk  dan
busuk?  Atau  ia  harus memancarkan terus sinar kebenaran itu,
memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran  manusia
dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan
mengangkatnya kemartabat  yang  lebih  tinggi,  sehingga  jiwa
manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?
 
Pamannya,  ini  pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela
dan   memeliharanya.   Ia   sudah   mau    meninggalkan    dan
melepaskannya.  Sedang  kaum  Muslimin masih lemah, mereka tak
berdaya akan berperang, tidak  dapat  mereka  melawan  Quraisy
yang  punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah
rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran.
Dan  atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang.
Tak punya apa-apa  ia  selain  imannya  kepada  kebenaran  itu
sebagai  perlengkapan.  Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian
itu  baginya  lebih  baik  daripada  yang  sekarang.  Ia  akan
meneruskan   misinya,   akan   mengajak   orang  seperti  yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman
kebenaran  yang  telah  diwahyukan kepadanya daripada menyerah
atau ragu-ragu.
 
Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan  dan  kemauan,  ia
menoleh kepada pamannya seraya berkata:
 
"Paman,  demi  Allah,  kalaupun  mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan  kiriku,  dengan
maksud  supaya  aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan
kutinggalkan,  biar  nanti   Allah   yang   akan   membuktikan
kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya."
 
Ya,  demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman
itu!  Gemetar  orang  tua  ini  mendengar  jawaban   Muhammad,
tertegun  ia.  Ternyata  ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan
kemauan yang begitu tinggi, di atas  segala  kemampuan  tenaga
hidup yang ada.
 
Muhammad  berdiri.  Airmatanya  terasa  menyumbat karena sikap
pamannya  yang  tiba-tiba   itu,   sekalipun   tak   terlintas
kesangsian   dalam   hatinya   sedikitpun   akan   jalan  yang
ditempuhnya itu.
 
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan  terpesona.  Ia
masih  dalam  kebingungan  antara tekanan masyarakatnya dengan
sikap kemanakannya itu. Tetapi  kemudian  dimintanya  Muhammad
datang   lagi,   yang   lalu   katanya:   "Anakku,  katakanlah
sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan  engkau  bagaimanapun
juga!"
Sikap   dan   kata-kata   kemenakannya   itu  oleh  Abu  Talib
disampaikan  kepada  Banu   Hasyim   dan   Banu   al-Muttalib.
Pembicaranya  tentang  Muhammad  itu  terpengaruh oleh suasana
yang dilihat dan dirasakannya ketika  itu.  Dimintanya  supaya
Muhammad   dilindungi  dari  tindakan  Quraisy.  Mereka  semua
menerima usul  ini,  kecuali  Abu  Lahab.  Terang-terangan  ia
menyatakan  permusuhannya.  Ia  menggabungkan  diri pada pihak
lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah
tentu   karena   terpengaruh   oleh   fanatisma  golongan  dan
permusuhan lama antara Banu Hasyim  dan  Banu  Umayya.  Tetapi
bukan  fanatisma  itu  saya  yang  mendorong  Quraisy bersikap
demikian. Ajarannya itu  sungguh  berbahaya  bagi  kepercayaan
yang  biasa  dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad
di  tengah-tengah  mereka,  pendiriannya  yang   teguh   serta
ajarannya  pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang
Tunggal, yang pada waktu  itu  memang  sudah  meluas  juga  di
kalangan  kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah
seperti yang ada pada mereka sekarang,  membuat  mereka  dapat
membenarkan  juga  sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam
menyatakan pendiriannya, seperti yang  pernah  dilakukan  oleh
Umayya  b.  Abi'sh-Shalt  dan  Waraqa b. Naufal dan yang lain.
Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak dapat  mereka
pastikan  -  maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun
akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas
dasar  kebenaran,  maka  orangpun akan meninggalkannya seperti
yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran  demikian  ini
tidak  akan  meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari
tradisi yang ada dan dia  sendiripun  akan  diserahkan  kepada
musuh supaya dibunuh.
 
Terhadap   gangguan   Quraisy   ia   dapat  berlindung  kepada
goIongannya,  seperti  kepada  Khadijah  bila   ia   mengalami
kesedihan.  Baginya  - dengan imannya yang sungguh-sungguh dan
cinta-kasihnya yang besar - Khadijah adalah lambang  kejujuran
yang  dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang dapat
menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang  mungkin  timbul
karena  siksaan  musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya
serta    melakukan    penyiksaan    terus-menerus     terhadap
pengikut-pengikutnya.
 
Sebelum  itu  sebenarnya  Quraisy memang tidak pernah mengenal
hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah  itu  langsung  menyerbu
kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa dan dipaksa
melepaskan  agamanya;  sehingga  di  antara  mereka  ada  yang
mencampakkan  budaknya,  Bilal,  ke  atas pasir di bawah terik
matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan batu dan  akan
dibiarkan  mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam!
Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: "Ahad,  Ahad,
Hanya  Yang  Tunggal!"  Ia  memikul  semua  siksaan  itu  demi
agamanya.
 
Ketika  pada  suatu  hari  oleh  Abu  Bakr  dilihatnya   Bilal
mengalami  siksaan  begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan.
Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa  itu
oleh  Abu  Bakr  dibeli  -  diantaranya  budak  perempuan Umar
bin'l-Khattab, dibelinya dari Umar [sebelum masuk Islam].  Ada
pula  seorang  wanita yang disiksa sampai mati karena ia tidak
mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.
 
Kaum Muslimin di luar budak-budak  itu,  dipukuli  dan  dihina
dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami
gangguan-gangguan - meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim
dan  Banu al-Muttalib. Umm Jamil, isteri Abu Jahl, melemparkan
najis  ke  depan  rumahnya.  Tetapi   cukup   Muhammad   hanya
membuangnya   saja.   Dan   pada  waktu  sembayang,  Abu  Jahl
melemparinya dengan isi perut kambing  yang  sudah  disembelih
untuk  sesajen  kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan
demikian itu dan ia pergi kepada  Fatimah,  puterinya,  supaya
mencucikan  dan  membersihkannya  kembali.  Ditambah  lagi, di
samping semua itu,  kaum  Muslimin  harus  menerima  kata-kata
biadab dan keji kemana saja mereka pergi.
 
Cukup  lama  hal  serupa  itu  berjalan.  Tetapi kaum Muslimin
tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka
menerima  siksaan  dan  kekerasan  itu  - demi akidah dan iman
mereka.
 
Perioda yang telah  dilalui  dalam  hidup  Muhammad  a.s.  ini
adalah  perioda  yang  paling dahsyat yang pernah dialami oleh
sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka  yang  menjadi
pengikutnya,   bukanlah   orang-orang   yang   menuntut  harta
kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang
menuntut  kebenaran  serta  keyakinannya  akan  kebenaran itu.
Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi  mereka
yang   mengalami  penderitaan,  dan  membebaskan  mereka  dari
belenggu paganisma yang rendah,  yang  menyusup  kedalam  jiwa
manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat memalukan.
 
Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan yang
lain  -  ia  mengalami  siksaan.  Penyair-penyair   memakinya,
orang-orang  Quraisy  berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah.
Rumahnya dilempari  batu,  keluarga  dan  pengikut-pengikutnya
diancam.  Tetapi  dengan semua itu malah ia makin tabah, makin
gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum  mukmin  yang  mengikutinya
itu  sudah  padat oleh ucapannya: "Demi Allah, kalaupun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan  di
tangan  kiriku,  dengan  maksud  supaya aku meninggalkan tugas
ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar  nanti  Allah  yang
akan  membuktikan  kemenangan itu; di tanganku atau aku binasa
karenanya."
 
Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada  artinya  bagi
mereka,  mautpun  sudah  tak  berarti lagi demi kebenaran, dan
membimbing Quraisy ke arah itu. Kadang orang heran, iman sudah
begitu  mempersonakan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini
belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur'an  yang  turun  masih
sedikit.  Kadang  juga  orang mengira, bahwa pribadi Muhammad,
sifatnya  yang   lemah-lembut,   keindahan   akhlaknya   serta
kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di samping kemauan yang
keras dan pendiriannya yang teguh,  adalah  sebab  dari  semua
itu.  Sudah  tentu  ini  juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada
sebab-sebab lain  yang  juga  patut  diperhatikan  yang  tidak
sedikit pula ikut memegang peranan.
 
Muhammad  tinggal  dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip
sebuah republik Dari segi keturunan ia menempati  puncak  yang
tinggi.  Hartapun  sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia
dari Keluarga Hasyim pula,  juru  kunci  Ka'bah  dan  penguasa
urusan  air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada
mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta
kekayaan,  pangkat  atau sesuatu kedudukan politik atau agama.
Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan  nabi-nabi
sebelumnya.  Musa  yang  dilahirkan  di  Mesir  bertemu dengan
Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan,  dan  Firaun  juga
yang  berkata:  "Aku  adalah  tuhanmu  yang  tertinggi,"  yang
dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada
orang   dengan   pelbagai   macam   kekejaman,  pemerasan  dan
pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa  atas  perintah  Tuhan
adalah  revolusi  dalam  struktur politik dan agama sekaligus.
Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air
dengan  syaduf  dari  sungai  Nil  itu  dihadapan  Tuhan  sama
sederajat? Jadi dimana ketuhanan Firaun itu  dan  dimana  pula
ketentuan  yang  berlaku!  Harus  dihancurkan  semua  itu  dan
revolusi itupun terlebih dulu harus bersifat politik.
 
Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa  itu  sudah  mendapat
perlawanan  hebat  dari  Firaun. Dengan demikian, supaya orang
menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mujizat-mujizat.  Ia
melemparkan  tongkatnya,  dan  tongkat itu menjadi seekor ular
yang bergerak-gerak,  menelan  semua  hasil  pekerjaan  tukang
tukang  sihir  Firaun  itu. Itupun tidak memberi hasil apa-apa
buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanah airnya.  Dalam
hijrahnya itupun diperkuat pula ia dengan sebuah mujizat yaitu
terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu.
 
Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di  bilangan  Palestina,
yang  pada  waktu  itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di
bawah  kekuasaan  kaisar-kaisar  dengan  segala   kekejamannya
sebagai   pihak   penjajah  dan  kekuasaan  dewa-dewa  Rumawi,
mengajak orang  supaya  sabar  menghadapi  kekejaman  itu  dan
bertobat   bagi   yang   menyesal   dan  macam-macam  perasaan
belaskasih lagi, yang  oleh  pihak  penguasa  justru  dianggap
pemberontakan   terhadap   kekuasaan  mereka.  Maka  Isa  juga
diperkuat dengan mujizat-mujizat: menghidupkan orang mati  dan
menyembuhkan  orang  sakit;  dan  yang lain diperkuat oleh Ruh
Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu  pada
dasarnya  bertemu  dengan  inti  ajaran-ajaran  Muhammad juga,
lepas dari detail yang bukan  tempatnya  untuk  dijelaskan  di
sini.  Akan  tetapi  motif  yang  berbagai macam ini, dan yang
terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya juga.
 
Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan  di
atas,   sifat  ajarannya  adalah  intelektual  dan  spiritual.
Dasarnya  adalah  mengajak  kepada  kebenaran,  kebaikan   dan
keindahan.  Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari mula sampai
akhir.  Karena  jauhnya  dari  segala  pertentangan   politik,
struktur  republik  yang  sudah  ada di Mekah itu tidak pernah
mengalami sesuatu kekacauan.
 
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa  antara
dakwah   Muhammad   dengan   metoda  ilmiah  modern  mempunyai
persamaan  yang  besar  sekali.  Metoda   ilmiah   ini   ialah
mengharuskan  kita  -  apabila  kita  hendak  mengadakan suatu
penyelidikan - terlebih  dulu  membebaskan  diri  dari  segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada
diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah
kita  memulai  dengan  mengadakan  observasi  dan  eksperimen,
mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru  dengan
silogisma  yang  sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi.
Apabila semua itu sudah  dapat  disimpulkan,  maka  kesimpulan
demikian   itu  dengan  sendirinya  masih  perlu  dibahas  dan
diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah  merupakan
suatu   data   ilmiah   selama   penyelidikan  tersebut  belum
memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah  demikian  ini  ialah
yang terbaik yang pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan
berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian  inilah  pula
yang menjadi pegangan Muhammad.
 
Bagaimana  pula  mereka  yang menjadi pengikutnya itu puas dan
beriman sungguh-sungguh  akan  ajarannya?  Segala  kepercayaan
lama  terkikis  habis  dari  jiwa  mereka, dan sekarang mereka
mulai memikirkan masa depan mereka.
 
Waktu   itu   setiap   kabilah    Arab    mempunyai    berhala
sendiri-sendiri.  Mana  pula  gerangan  berhala yang benar dan
mana yang  sesat?  Di  negeri-negeri  Arab  dan  negeri-negeri
sekitarnya  ketika  itu  memang  sudah  ada  penganut-penganut
Sabian dan Majusi  penyembah  api,  juga  ada  yang  menyembah
matahari.  Mana  diantara  mereka itu yang benar dan mana pula
yang sesat?
 
Baiklah  kita  kesampingkan  dulu  semua  ini,  kita  hapuskan
jejaknya  dari  jiwa  kita.  Kita bebaskan dulu diri kita dari
segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita  renungkan.
Merenungkan  dan meninjau pada dasarnya sama. Yang pasti ialah
bahwa seluruh alam ini  satu  sama  lain  saling  berhubungan.
Manusia,   puak-puak  dan  bangsa-bangsa  saling  berhubungan.
Manusia berhubungan juga dengan hewan dan dengan  benda,  bumi
kita  berhubungan dengan matahari, dengan bulan dan tata-surya
lainnya.   Dan   semua   itupun   berhubungan   pula    dengan
undang-undang  yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar
atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar
bulan,  malampun  takkan  dapat mendahului siang. Andaikata di
antara isi alam ini ada yang berubah  atau  berganti,  niscaya
akan   berganti  pulalah  segala  yang  ada  dalam  alam  ini.
Andaikata matahari tidak lagi  menyinari  dan  memanasi  bumi,
menurut  undang-undang  yang sudah berjalan sejak jutaan tahun
yang lalu, niscaya bumi dan  langit  ini  sudah  akan  berubah
pula.  Dan  oleh  karena yang demikian ini tidak terjadi, maka
atas semua itu sudah tentu ada  zat  yang  menguasainya.  Dari
situ  ia  tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia
kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata manusia menyerah.
Demikian  juga, segala yang ada dalam alam ini menyerah semata
kepada Zat ini, persis seperti manusia.  Baik  manusia,  alam,
ruang  dan  waktu  adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti
dan sumbernya. Jadi,  hanya  kepada  Zat  itu  sajalah  semata
ibadat  dilakukan.  Hanya  kepada  Zat itu sajalah jantung dan
jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam  itu  juga  kita  harus
melihat  dan  merenungkan  undang-undang alam yang kekal abadi
itu. Jadi segala yang disembah  manusia  selain  Allah  berupa
berhala-berhala,  raja-raja,  firaun-firaun, api dan matahari,
hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan  martabat
dan  kehormatan  manusia,  tidak  sesuai  dengan  akal pikiran
manusia serta dengan kemampuan yang ada  dalam  dirinya;  yang
dapat  membuat  kesimpulan  atas  undang-undang Tuhan terhadap
ciptaanNya itu, dengan jalan merenungkannya.
 
Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti  yang  diketahui
kaum  Muslimin  yang  mula-mula  itu.  Ajaran yang disampaikan
wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu  adalah  puncak  dari
bahasa  sastra  yang  telah  menjadi  mujizat  dan  akan terus
berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara  melukiskannya
dengan  keindahan  yang  luarbiasa  itu kini tampak di hadapan
mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih  tinggi,
berhubungan  dengan  Zat Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad
menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang  akan  sampai
ke  tujuan.  Mereka  akan  mendapat  balasan atas kebaikan itu
bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup  dengan
tekun.  Setiap  orang  akan  mendapat  balasan  sesuai  dengan
perbuatannya.
 
"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan dilihatnya;
dan   barangsiapa   berbuat  kejahatan  seberat  atompun  akan
dilihatnya pula." (Qur'an 99: 7-8)
 
Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang  lebih  tinggi
kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan
belenggu yang  senantiasa  mengikatnya  itu!  Terserah  kepada
manusia.  Ia  mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya
untuk mencapai puncak ketinggian martabat  manusia  itu!  Demi
mencapai  tujuan,  segala pengorbanan terasa ringan bagi orang
yang sudah beriman itu.
 
Karena posisi Muhammad dan  pengikut-pengikutnya  yang  begitu
agung,   Banu   Hasyim   dan  Banu  al-Muttalib  tambah  ketat
menjaganya dari setiap gangguan.  Pada  suatu  hari  Abu  Jahl
bertemu  dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan
mengeluarkan kata-kata yang tidak  pantas  dialamatkan  kepada
agama  ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya
ia  tanpa  diajak  bicara.  Hamzah,  pamannya  dan  saudaranya
sesusu,  yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah
seorang  laki-laki  yang  kuat  dan  ditakuti.  Ia   mempunyai
kegemaran  berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu
mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
 
Hari  itulah,  bilamana  ia  datang   dan   mengetahui   bahwa
kemenakannya  itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah.
Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi  salam  kepada  yang
hadir  di  tempat  itu seperti biasanya, melainkan terus masuk
kedalam  mesjid  menemui  Abu   Jahl.   Setelah   dijumpainya,
diangkatnya   busurnya   lalu   dipukulkannya  keras-keras  di
kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela
Abu  Jahl.  Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencana
dan membahayakan  sekali,  dengan  mengakui  bahwa  ia  memang
mencaci maki Muhammad dengan tidak semena-mena.
 
Sesudah  itulah  kemudian  Hamzah  menyatakan  masuk Islam. Ia
berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di
jalan Allah sampai akhir hayatnya.
 
Pihak   Quraisy   merasa   sesak  dada  melihat  Muhammad  dan
kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan
dan  siksaan  yang  dialamatkan  kepada  mereka,  tidak  dapat
mengurangi iman mereka dan menyatakannya  terus-terang,  tidak
dapat  menghalangi  mereka melakukan kewajiban agama. Terpikir
oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan  cara
seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya.
Mereka rupanya lupa bahwa keagungan  dakwah  Islam,  kemurnian
esensi  ajaran  rohaninya  yang  begitu tinggi, berada di atas
segala pertentangan ambisi politik. 'Utba b.  Rabi'a,  seorang
bangsawan  Arab  terkemuka,  mencoba  membujuk  Quraisy ketika
mereka dalam tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia  akan
bicara  dengan  Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal
yang barangkali mau menerimanya.  Mereka  mau  memberikan  apa
saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.
 
Ketika itulah 'Utba bicara dengan Muhammad.
 
"Anakku,"  katanya, "seperti kau ketahui, dari segi keturunan,
engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa
soal   besar  ketengah-tengah  masyarakatmu,  sehingga  mereka
cerai-berai  karenanya.  Sekarang,  dengarkanlah,  kami   akan
menawarkan   beberapa   masalah,  kalau-kalau  sebagian  dapat
kauterima Kalau dalam hal ini yang kauinginkan  adalah  harta,
kamipun  siap  mengumpulkan  harta kami, sehingga hartamu akan
menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau  kau  menghendaki
pangkat,  kami  angkat  engkau  diatas kami semua; kami takkan
memutuskan  suatu  perkara  tanpa  ada  persetujuanmu.   Kalau
kedudukan  raja  yang  kauinginkan,  kami nobatkan kau sebagai
raja kami. Jika engkau dihinggapi  penyakit  saraf4  yang  tak
dapat  kautolak  sendiri,  akan  kami  usahakan  pengobatannya
dengan harta-benda kami sampai kau sembuh."
 
Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (41 = Ha
Mim). 'Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu.
Dilihatnya sekarang yang berdiri di  hadapannya  itu  bukanlah
seorang  laki-laki  yang  didorong  oleh  ambisi  harta, ingin
kedudukan  atau  kerajaan,  juga  bukan  orang   yang   sakit,
melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang
kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu  dengan  cara  yang
baik, dengan kata-kata penuh mujizat.
 
Selesai  Muhammad  membacakan  itu  'Utba pergi kembali kepada
Quraisy.  Apa  yang  dilihat  dan   didengarnya   itu   sangat
mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu.
Penjelasannya sangat menarik sekali.
 
Persoalannya 'Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy,  juga
pendapatnya    supaya    Muhammad    dibiarkan   saja,   tidak
menggembirakan mereka,  sebaliknya  kalau  mengikutinya,  maka
kebanggaannya buat mereka.
 
Maka    kembali   lagilah   mereka   memusuhi   Muhammad   dan
sahabat-sahabatnya dengan menimpakan  bermacam-macam  bencana,
yang  selama  ini  dalam  kedudukannya  itu  ia  berada  dalam
perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu  Talib,  Banu
Hasyim dan Banu al-Muttalib.
 
Gangguan    terhadap   kaum   Muslimin   makin   menjadi-jadi,
sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya.  Waktu
itu   Muhammad  menyarankan  supaya  mereka  terpencar-pencar.
Ketika mereka bertanya kepadanya  kemana  mereka  akan  pergi,
mereka  diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya
menganut agama Kristen. "Tempat itu  diperintah  seorang  raja
dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai
nanti Allah membukakan jalan buat kita semua."
 
Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat  ke  Abisinia
guna  menghindari  fitnah  dan  tetap  berlindung kepada Tuhan
dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan
dua  kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria
dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar  dari
Mekah  mencari  perlindungan.  Kemudian mereka mendapat tempat
yang baik di bawah Najasyi.5
 
Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di  Mekah
sudah  selamat  dari  gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali
pulang, seperti yang akan diceritakan  nanti.  Tetapi  setelah
ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy
melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi  mereka  ke  Abisinia.
Sekali  ini  terdiri  dari  delapanpuluh orang pria tanpa kaum
isteri  dan  anak-anak.  Mereka  tinggal  di  Abisinia  sampai
sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.
 
Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.6
 
Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan
bertanya: Adakah tujuan hijrah yang  dilakukan  kaum  Muslimin
atas  saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari
orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka  lakukan,
ataukah  karena  suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu
dimaksudkan oleh Muhammad  dengan  tujuan  yang  lebih  luhur?
Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu
akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti  dari  sejarah
Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa
dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang  pembawa
risalah  dan  moral  jiwa  yang begitu luhur, sublim dan agung
yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan  dalam  hal  ini
ialah  apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah
tidak suka hati ada kaum  Muslimin  yang  pergi  ke  Abisinia.
Bahkan  mereka  kemudian  mengutus  dua orang menemui Najasyi.
Mereka membawa hadiah-hadiah  berharga  guna  meyakinkan  raja
supaya  dapat  mengembalikan  kaum  Muslimin  itu ke tanah air
mereka. Pada  waktu  itu  penduduk  Abisinia  dan  penguasanya
adalah   orang-orang  Nasrani.  Dari  segi  agama  orang-orang
Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.
 
Disebabkan oleh rasa  kegelisahan  terhadap  peristiwa  itukah
maka  mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin
itu  dikembalikan?  Mereka  menganggap,   bahwa   perlindungan
Najasyi  terhadap  mereka  setelah mendengar keterangan mereka
itu akan membawa pengaruh juga kepada  penduduk  jazirah  Arab
sehingga  mereka  akan  mau  menerima  agama  Muhammad dan mau
menjadi  pengikutnya.  Ataukah  mereka  kuatir,   kalau   kaum
Muslimin  menetap  di  Abisinia,  mereka  akan bertambah kuat,
sehingga bila kelak mereka pulang kembali  membantu  Muhammad,
mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?
 
Waktu   itu  'Umar  ibn'l-Khattab  adalah  pemuda  yang  gagah
perkasa, berusia antara tigapuluh dan  tigapuluh  lima  tahun.
Tubuhnya  kuat  dan  tegap,  penuh emosi dan cepat naik darah.
Kesenangannya  foya-foya  dan  minum-minuman   keras.   Tetapi
terhadap keluarga ia bijaksana dan lemah-lembut. Dari kalangan
Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin.
 
Akan tetapi sesudah ia mengetahui, bahwa mereka  sudah  hijrah
ke   Abisinia   dan   mengetahui   pula   rajanya   memberikan
perlindungan kepada mereka,  iapun  merasa  kesepian  berpisah
dengan  mereka  itu. Ia merasakan betapa pedihnya hati, betapa
pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air.
 
Tatkala    itu    Muhammad     sedang     berkumpul     dengan
sahabat-sahabatnya  yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah
di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya,  Ali  bin  Abi
Talib  sepupunya,  Abu  Bakr  b.  Abi Quhafa dan Muslimin yang
lain.  Pertemuan  mereka  ini  diketahui  'Umar.  Iapun  pergi
ketempat  mereka,  ia  mau  membunuh Muhammad. Dengan demikian
bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami
perpecahan, sesudah harapan dan berhala-berhala mereka hina.
 
Di  tengah jalan ia bertemu dengan Nu'aim b. Abdullah. Setelah
mengetahui maksudnya, Nuiaim berkata:
 
"Umar, engkau  menipu  diri  sendiri.  Kaukira  keluarga  'Abd
Manaf.  akan  membiarkan  kau merajalela begini sesudah engkau
membunuh Muhammad? Tidak lebih baik kau pulang saja  ke  rumah
dan perbaiki keluargamu sendiri?!"
 
Pada  waktu  itu  Fatimah,  saudaranya,  beserta Sa'id b. Zaid
suami Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal
ini  dari Nu'aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui
mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang  membaca  Qur'an.
Setelah  mereka  merasa ada orang yang sedang mendekati, orang
yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya.
 
"Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?!" tanya Umar.
 
Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara
lantang: "Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad
dan  menganut  agamanya!"  katanya  sambil  menghantam   Sa'id
keras-keras.   Fatimah,   yang   berusaha   hendak  melindungi
suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri  itu
jadi panas hati.
 
"Ya,  kami  sudah  Islam!  Sekarang  lakukan  apa  saja," kata
meteka.
 
Tetapi Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka
saudaranya  itu.  Ketika  itu  juga lalu timbul rasa iba dalam
hatinya. Ia  menyesal.  Dimintanya  kepada  saudaranya  supaya
kitab  yang  mereka  baca  itu  diberikan  kepadanya.  Setelah
dibacanya, wajahnya  tiba-tiba  berubah.  Ia  merasa  menyesal
sekali  atas  perbuatannya  itu.  Menggetar rasanya ia setelah
membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang  luarbiasa  dan  agung
dirasakan,  ada  suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi
lebih bijaksana.
 
Ia keluar membawa hati yang  sudah  lembut  dengan  jiwa  yang
tenang  sekali.  Ia  langsung  menuju  ke  tempat Muhammad dan
sahabat-sahabatnya itu sedang berkumpul  di  Shafa.  Ia  minta
ijin  akan  masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan
adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum  Muslimin  telah
mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.
 
Dengan  Islamnya Umar ini kedudukan Quraisy jadi lemah sekali.
Sekali  lagi  mereka  mengadakan  pertemuan  guna   menentukan
langkah   lebih   lanjut.   Sebenarnya   peristiwa  ini  telah
memperkuat kedudukan kaum  Muslimin,  telah  memberikan  unsur
baru berupa kekuatan yang luarbiasa yang menyebabkan kedudukan
Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan  mereka  terhadap
Quraisy  sudah  tidak  seperti  dulu lagi. Keadaan kedua belah
pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan  politik
baru,     penuh     dengan     peristiwa-peristiwa,     dengan
pengorbanan-pengorbanan  dan  kekerasan-kekerasan  baru  lagi,
yang   sampai  menyebabkan  terjadinya  hijrah  dan  munculnya
Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar