Sejarah Hidup Muhammad
oleh
Muhammad Husain Haekal
BAGIAN
KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN
SAMPAI
PERKAWINANNYA
Muhammad
Husain Haekal
USIA
Abd'l-Muttalib sudah hampir mencapai
tujuhpuluh tahun
atau lebih
tatkala Abraha mencoba
menyerang Mekah dan
menghancurkan
Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah
anaknya
sudah
duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan
Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb
bin Abd
Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu
yang sesuai
pula
usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka
pergilah
anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia
dengan
anaknya
menemui Wahb dan melamar puterinya.
Sebagian penulis
sejarah berpendapat,
bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman
Aminah,
sebab waktu itu ayahnya sudah
meninggal dan dia di
bawah asuhan
pamannya. Pada hari perkawinan
Abdullah dengan
Aminah
itu, Abd'l-Muttalib juga kawin
dengan Hala, puteri
pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman
Nabi dan
yang
seusia dengan dia.
Abdullah
dengan Aminah tinggal selama
tiga hari di
rumah
Aminah, sesuai
dengan adat kebiasaan
Arab bila perkawinan
dilangsungkan
di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah
itu
mereka pindah
bersama-sama ke keluarga Abd'l-Muttalib. Tak
seberapa
lama kemudian Abdullahpun pergi dalam
suatu usaha
perdagangan ke
Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam
keadaan
hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa
keterangan
yang berbeda-beda:
adakah Abdullah kawin lagi selain
dengan
Aminah; adakah
wanita lain yang
datang menawarkan diri
kepadanya? Rasanya
tak ada gunanya
menyelidiki
keterangan-keterangan
semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah
adalah seorang
pemuda yang tegap dan tampan.
Bukan hal yang
luar
biasa jika ada wanita lain yang ingin
menjadi isterinya
selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan
Aminah itu
hilanglah
harapan yang lain walaupun untuk sementara.
Siapa
tahu, barangkali
mereka masih menunggu
ia pulang dari
perjalanannya
ke Syam
untuk menjadi isterinya
di samping
Aminah.
Dalam perjalanannya
itu Abdullah tinggal
selama beberapa
bulan.
Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi.
Kemudian ia
singgah ke tempat
saudara-saudara ibunya di
Medinah
sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam
perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan
kafilah
ke
Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita
sakit di tempat
saudara-saudara ibunya
itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih
dulu
meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita
sakitnya
itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.
Begitu berita sampai kepada Abd'l-Muttalib ia
mengutus Harith
-
anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya
membawa kembali
bila ia
sudah sembuh. Tetapi
sesampainya di Medinah
ia
mengetahui
bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan
pula, sebulan
sesudah kafilahnya berangkat
ke Mekah.
Kembalilah
Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan
pilu atas
kematian adiknya itu. Rasa duka
dan sedih menimpa
hati
Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan
seorang suami
yang selama ini
menjadi harapan kebahagiaan
hidupnya.
Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya
sehingga
penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa
belum
pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.
Peninggalan
Abdullah sesudah wafat terdiri
dari lima ekor
unta, sekelompok
ternak kambing dan seorang budak perempuan,
yaitu
Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh
Nabi. Boleh
jadi peninggalan
serupa itu bukan
berarti suatu tanda
kekayaan;
tapi tidak juga
merupakan suatu kemiskinan.
Di
samping itu
umur Abdullah yang masih dalam
usia muda belia,
sudah
mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada
itu ia
memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih
hidup
itu.
Aminah
sudah hamil, dan kemudian, seperti
wanita lain iapun
melahirkan. Selesai
bersalin dikirimnya berita kepada
Abd'l
Muttalib di
Ka'bah, bahwa ia
melahirkan seorang anak
laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah
menerima
berita.
Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira
sekali hatinya
karena ternyata pengganti anaknya
sudah ada.
Cepat-cepat
ia menemui menantunya itu,
diangkatnya bayi itu
lalu dibawanya
ke Ka'bah. Ia diberi nama
Muhammad. Nama ini
tidak
umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi
itu kepada ibunya. Kini mereka sedang
menantikan
orang yang akan menyusukannya dari Keluarga
Sa'd
(Banu Sa'd),
untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada
salah
seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum
bangsawan
Arab di Mekah.
Mengenai tahun
ketika Muhammad dilahirkan,
beberapa ahli
berlainan
pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah
(570 Masehi).
Ibn Abbas mengatakan ia
dilahirkan pada Tahun
Gajah
itu. Yang lain berpendapat
kelahirannya itu limabelas
tahun
sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan
ia
dilahirkan beberapa hari atau beberapa
bulan atau juga
beberapa tahun
sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga
puluh
tahun, dan ada juga yang
menaksir sampai tujuhpuluh
tahun.
Juga
para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya.
Sebagian
besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain
berpendapat
dalam
bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab,
sementara
yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.
Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia
dilahirkan.
Satu
pendapat mengatakan pada malam kedua
Rabiul Awal, atau
malam kedelapan,
atau kesembilan. Tetapi
pada umumnya
mengatakan,
bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas
Rabiul
Awal.
Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.
Selanjutnya terdapat
perbedaan pendapat mengenai
waktu
kelahirannya,
yaitu siang atau malam, demikian
juga mengenai
tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval
dalam Essai
sur l'Histoire
des Arabes menyatakan,
bahwa Muhammad
dilahirkan
bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan
di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib.
Pada hari
ketujuh kelahirannya itu
Abd'l-Muttalib minta
disembelihkan unta.
Hal ini kemudian
dilakukan dengan
mengundang
makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa anak
itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya
mengapa
ia tidak suka memakai nama nenek
moyang. "Kuinginkan
dia
akan menjadi orang
yang Terpuji,1 bagi Tuhan di
langit
dan
bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib.
Aminah
masih menunggu akan menyerahkan
anaknya itu kepada
salah seorang
Keluarga Sa'd yang
akan menyusukan anaknya,
sebagaimana
sudah menjadi kebiasaan
bangsawan-bangsawan Arab
di Mekah.
Adat demikian ini
masih berlaku pada
bangsawan-bangsawan Mekah.
Pada hari kedelapan
sesudah
dilahirkan anak
itupun dikirimkan ke
pedalaman dan baru
kembali
pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh
tahun. Di
kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal
dalam
menyusukan ini di antaranya ialah kabilah
Banu Sa'd.
Sementara
masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah
menyerahkan
anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan,
seperti Hamzah
yang
juga kemudian disusukannya. Jadi
mereka adalah saudara
susuan.
Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan,
namun
ia
tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya.
Setelah wanita
itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia
hijrah
ke Medinah, untuk meneruskan
hubungan baik itu ia
menanyakan tentang
anaknya yang juga menjadi saudara susuan.
Tetapi
kemudian ia mengetahui
bahwa anak itu
juga sudah
meninggal
sebelum ibunya.
Akhirnya datang
juga wanita-wanita Keluarga Sa'd yang akan
menyusukan
itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang
akan
mereka susukan.
Akan tetapi mereka
menghindari anak-anak
yatim.
Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari
sang ayah.
Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang
dapat
mereka harapkan. Oleh karena itu di
antara mereka itu
tak ada
yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat
hasil
yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka
harapkan.
Akan
tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak
Muhammad,
seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat
bayi lain
sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang wanita yang
kurang mampu, ibu-ibu
lainpun tidak
menghiraukannya. Setelah
sepakat mereka akan
meninggalkan
Mekah.
Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya:
"Tidak senang
aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa
membawa
seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu
dan
akan kubawa juga."
"Baiklah," jawab
suaminya.
"Mudah-mudahan karena itu
Tuhan
akan
memberi berkah kepada kita."
Halimah kemudian
mengambil Muhammad dan
dibawanya pergi
bersama-sama dengan
teman-temannya ke pedalaman.
Dia
bercerita,
bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa
mendapat
berkah. Ternak
kambingnya gemuk-gemuk dan
susunyapun
bertambah.
Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.
Selama
dua tahun Muhammad tinggal di sahara,
disusukan oleh
Halimah dan
diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan
kehidupan
pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat
sekali
menjadi besar,
dan menambah indah
bentuk dan pertumbuhan
badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya
disapih,
Halimah membawa
anak itu kepada
ibunya dan sesudah
itu
membawanya
kembali ke pedalaman. Hal
ini dilakukan karena
kehendak ibunya,
kata sebuah keterangan, dan keterangan lain
mengatakan
karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa
kembali
supaya lebih
matang, juga memang
dikuatirkan dari adanya
serangan
wabah Mekah.
Dua
tahun lagi anak itu tinggal di sahara,
menikmati udara
pedalaman yang
jernih dan bebas, tidak terikat
oleh sesuatu
ikatan
jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada
masa itu, sebelum usianya mencapai tiga
tahun, ketika
itulah terjadi
cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni,
bahwa sementara
ia dengan saudaranya
yang sebaya sesama
anak-anak itu
sedang berada di
belakang rumah di
luar
pengawasan
keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd
itu kembali
pulang sambil berlari,
dan berkata kepada
ibu-bapanya:
"Saudaraku yang dari Quraisy
itu telah diambil
oleh dua
orang laki-laki berbaju
putih. Dia dibaringkan,
perutnya
dibedah, sambil di balik-balikan."
Dan
tentang Halimah ini ada juga diceritakan,
bahwa mengenai
diri dan suaminya ia berkata: "Lalu saya
pergi dengan ayahnya
ke tempat
itu. Kami jumpai
dia sedang berdiri.
Mukanya
pucat-pasi.
Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami
tanyakan:
"Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh
dua orang
laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku
di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu
aku
apa yang mereka cari."
Halimah
dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat
ketakutan,
kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah
itu,
dibawanya anak
itu kembali kepada
ibunya di Mekah. Atas
peristiwa
ini Ibn Ishaq membawa sebuah
Hadis Nabi sesudah
kenabiannya.
Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq
nampaknya hati-hati
sekali dan mengatakan
bahwa sebab
dikembalikannya kepada
ibunya bukan karena cerita adanya dua
malaikat
itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah
- ketika
ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada
beberapa
orang Nasrani Abisinia memperhatikan
Muhammad dan
menanyakan kepada
Halimah tentang anak
itu. Dilihatnya
belakang
anak itu, lalu mereka berkata:
"Biarlah
kami bawa anak ini kepada raja kami di
negeri kami.
Anak ini
akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui
keadaannya."
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri
dari
mereka dengan
membawa anak itu.
Demikian juga cerita yang
dibawa
oleh Tabari, tapi ini masih
di ragukan; sebab
dia
menyebutkan Muhammad
dalam usianya itu,
lalu kembali
menyebutkan bahwa
hal itu terjadi
tidak lama sebelum
kenabiannya
dan usianya empatpuluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan
menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata
peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada
ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis
berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu
gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang
baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak
diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya
supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui
orang dari teks ayat yang berbunyi: "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan)
dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala
beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh
Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia lima
tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah
kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta'if dikepung, kemudian
dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan
wanita itu.
Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan memberitahukan
bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang
akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian
setengah orang berkata.
Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu.
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika
Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk
diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak
Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah
kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali
ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak
ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah
bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.
Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa
hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan
nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal,
dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung
kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah
dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia,
sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat
perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.
Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan,
pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka
yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada
lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang
kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di
kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.
Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang
lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad.
Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan
menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu
telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan,
bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan
terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan
orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan
berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu
melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang
berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang
tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi
Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah
mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan
yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari
perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan
demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah
diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang
seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke
pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan
Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh
penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta
dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara
tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu
dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada
paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair,
ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato
dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama
bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang
Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah
menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di
kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah
seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah
pekan-pekan dagang diadakan di 'Ukaz, yang terletak antara
Ta'if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar
perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka'bah. Pekan
'Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang
Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan
suci.
Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh 'Urwa ar-Rahhal bin 'Utba dari kabilah Hawazin.
Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu'man bin'l-Mundhir
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan
membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
Adapun pilihan Nu'man terhadap 'Urwa (Hawazin) ini telah
menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian
mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil
kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.
Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak
selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban
manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian
mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang
mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun
permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang
Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran
kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan
kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun
sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang
Fijar itu dengan berkata: "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah bin Jud'an diadakan pertemuan dengan mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra
dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya
sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku
tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak
pasti kukabulkan."
Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat
Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan
menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan
hiburan sepuas-puasnya
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang
terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi
tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena
tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran
Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah
dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.
Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan
dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir
dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh
julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala
kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya
'yang dapat dipercaya').
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya
itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat
yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing."
Dan katanya lagi: "Musa diutus, dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing
keluargaku di Ajyad."
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu
penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti
kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan
bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan
satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya
jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.
Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing
dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata,
bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia
ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di
gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat
itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar
olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu
terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang
kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar
nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan
memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam
hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh
materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.
Bukankah dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang
hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang
bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama
sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya
keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini
dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta
kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa
yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir,
yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita sebutkan
tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan
diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah
bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang
kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah
kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy
pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia
memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur
duapuluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan
makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah
mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak
setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak
kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan
peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan
Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.
Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia
lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang
peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di
pasar-pasar sekeliling Mekah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad
berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu
benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik
kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di
Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah.
Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad
bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira
dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia
empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga
hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal
itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab
Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."
"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada
tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa,
suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.
BAGIAN KEEMPAT: DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA (1/2)
Muhammad Husain Haekal
Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah
membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
- Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri
Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan
putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri -
Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu
pertama.
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad
melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup
suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai
pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu
muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk
kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh
beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua
anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah
menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih
hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap
anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia
dan hormat kepadanya.
Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak
terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung
lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di
tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak lebih
menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan
gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher
panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang
bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah
cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah
cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila
Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang
memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan
harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang
diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang
baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi
pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan
mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang
sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang
mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa
menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya.
Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila
bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi
yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia
tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya
tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa
amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan
menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah
bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan
keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya.
Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan
meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup
kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang
sungguh setia itu.
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga
partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada
waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar
yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan
dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang
berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi
beratap, dewa Ka'bah yang suci itu akan menurunkan bencana
kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka
diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam
barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan
ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal
perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka
berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah
guna membantu mereka membangun Ka'bah kembali. Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan
Baqum.
Sudut-sudut Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun
kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka
masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian
al-Walid bin'l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit
takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia
merombak bagian sudut selatan.3 Tinggal lagi orang
menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap
al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi
apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan
batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu
sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu
granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya
meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy,
siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga
hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga
Abd'd-Dar dan keluarga 'Adi bersepakat takkan membiarkan
kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga
Abd'd-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka
dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka.
Karena itu lalu diberi nama La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
darah.'
Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang
tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah
melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama
sekali memasuki pintu Shafa ini."
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya."
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun
mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa
berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu
katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain
dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu
diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya;
"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu
akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka'bah sampai setinggi
delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah
sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang
orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang
dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang
sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan
Hubal di dalam Ka'bah. Juga di tempat itu diletakkan
barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan
diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka'bah dan memberikan
keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil
batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah, menunjukkan betapa
tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan
La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan
kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan
Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya
pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga
Umayya sesudah matinya Abd'l-Muttalib besar sekali
pengaruhnya.
Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena
adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan
kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian
pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati
penduduk Mekah dan orang-orang Quraisy sendiri, meskipun
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama
yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga
ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir.
Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka'bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan
perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, dibalik
kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan
hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah
hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu
hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
berhala 'Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam
meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. 'Amr,
Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b.
Naufal.
Mereka satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya
kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak,
merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah
korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara,
marilah kita mencari agama lain, bukan ini."
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya.
Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
- Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam, sampai
kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan
Umm'l-Mu'minin.
Zaid b. 'Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan
menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke
dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara
bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan
kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."
Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah,
pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga,
bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan
Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi
penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah.
Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu
Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk
Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur
dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu
meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya
itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan,
ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena
kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh
suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah
duduk-duduk di sampingnya
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan
anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan
lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya
kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan
dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian
dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin
Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia
menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam
mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan
sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki
ibu.
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian
kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan
pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya
tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu
menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan
sesajen buat berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan
tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak
berguna sama sekali.
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan
perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan dengan
Abu'l-'Ash bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
dengan Khadijah - seorang pemuda yang dihargai masyarakat
karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan.
Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah
datangnya Islam - ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke
Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih
terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri
ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang
kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa
golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun
menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan
berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan.
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan
tahannuf dan tahannuth.6
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling
baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam
dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam
dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri,
ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin
besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam
semesta.
Di puncak Gunung Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara
Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat
menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun
ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan
bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan
ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang
ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di
situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang
disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat
dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para
pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit
dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang
pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang
berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah,
bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada
di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari
Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia
menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai
hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang
menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang
panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya
dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan
sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak
membawa kebenaran samasekali. Berhala-berhala yang tidak
berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki,
tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa
bahaya. Hubal, Lat dan 'Uzza, dan semua patung-patung dan
berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar
Ka'bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau
akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana
kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana
pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya
dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain
adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau
barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak
terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan
besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita
di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin
bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia,
kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri,
ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia
memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga
yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan
bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan
melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana
bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah,
pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah
Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini
ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai
syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang
mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut
Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang
lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar
renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi
sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah
beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan
cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan
itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan
segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari
jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak
karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula
sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar;
tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai
macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan
kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak
mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan
Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam.
Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan
barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan
dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar
adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan
kediaman yang paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke
Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas
segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia
telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah
mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu
ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh
jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam,
kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa,
dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari
gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali
ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang
berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat
dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan,
sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain
terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa
kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan
jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan
mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran
isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah
mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang
dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika
itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya
tak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:
"Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu
berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu
Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah
kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah
kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia
diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang
terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah
dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil
bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya
membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara
dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di
mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan
masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan
berhala, jadi terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan
kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia
dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada
manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.
Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun
ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu.
Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa
malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu
Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi
tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah
berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil
ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera diselimuti. Tubuhnya
menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu
berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata
ingin mendapat kekuatan.
"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian diceritakannya apa
yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya
akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru
nujum saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa
kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam
kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:
"O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi
Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya
engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali
kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang
dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah
dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya
sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu
kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu
kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi
kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah
Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat
manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah
cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR (1/4)
Muhammad Husain Haekal
Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal - Wahyu
terhenti - Islamnya Abu Bakr - Muslimin yang mula-mula
- Ajakan Muhammad kepada keluarganya - Quraisy
menghasut penyair-penyairnya terhadap Muhammad -
Muhammad menista dewa-dewa Quraisy - Utusan Quraisy
kepada Abu Talib - Kedudukan Muhammad terhadap
pamannya - Quraisy menyiksa kaum Muslimin - Kaum
Muslimin hijrah ke Abisinia - Islamnya Umar.
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh
kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi
mengajaknya bicara itu.
Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang
sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah
menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami
itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam
kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang
benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa
kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh
kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah
diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang
begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah
menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi
seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana
saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata
yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata
hatinya Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu
harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib
yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada
kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan
mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak
paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa
adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal
Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam
bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan
didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan
Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan
harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar,
kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang
memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah
menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan
sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya
tetap tabah."
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur
harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia
menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah
membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya
malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan.
Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan
perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima
lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:
17)
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih
besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya
kembali ia tidur dan beristirahat.
"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah,"
jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya
mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia
menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila
Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya
benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang
berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar
kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran
semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa,
kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung
melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia,
manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke
sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat
mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan,
bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth
itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala
pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah kerasulannya.
Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat
itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang,
didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya.
Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah
tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan
mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa
berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah
Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti
yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan
didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti
aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang
sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya
dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan
adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan merasakan
pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy
supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan
mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan
sanak famili yang dekat.
Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa
yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia
mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih
tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah
menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan
jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya
mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang
baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar
mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka
buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni
segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka
lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu.
Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka
lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia
memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi
tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa
dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian
mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya
itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam
semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian
mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi
oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat
petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan
berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang
yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang
sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala
seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di
tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat
kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama
nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka
yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang
yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan
membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda
hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai
kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan
manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya
kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi
masalah besar itu.
Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi
masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi
jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak
datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu.
Ia merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia
merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon
Khadijah pernah mengatakan kepadanya: "Mungkin Tuhan tidak
menyukai engkau."
Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya
lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua
Hira'. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya,
menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia
lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun
tidak pula kurang rasanya.
Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan
adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi
ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya:
Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira'
atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi
hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu
berakhir?
Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu - sesudah
sekian lama terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman
Tuhan:
"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap
kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa
benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau
daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari
Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati. Bukankah
Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya tempat
berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu
diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta,
jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)
Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa
gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya.
Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan
penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan
sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi merasa
takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua
dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang
sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.
Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan
hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar
menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi
bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang
selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya
pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih baik
buat kau daripada yang sekarang."
Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu,
dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di
langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa
yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya
bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang
cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan
dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia
harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan
mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi
menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta,
jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan
telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah
itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya
Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin,
telah diberi kekayaan dengan amanat Tuhan kepadanya.
Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan
yang penuh cinta kasih, yang memberi nasehat dengan rasa
kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu
diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu.
Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.
Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.
Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun
bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin
Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu
suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu
Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali
berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa itu adalah
yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim: "Abu Talib
saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang
mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya
itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun seorang untuk
kemudian kita asuh."
Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh
Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali
menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan
sujud serta membaca beberapa ayat Qur'an yang sampai pada
waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak ifu tertegun
berdiri: "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya setelah
sembahyang selesai.
"Kami sujud kepada Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku
menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah
Allah"
Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa nabi
utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan
'Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Qur'an. Ali
sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah
teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah
diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan
dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang
diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan
penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama
tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat
serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi
memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu.
Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih
akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk
kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang
masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau
menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana
lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan
pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan
dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!
Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera
diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang
seorang pria yang rupawan. "Menjadi kesayangan masyarakatnya
dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang
Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui
segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat.
Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup
terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka
mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena
ilmunya, karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang
baik."
Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr
diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b.
'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b. Abi Waqqash dan Zubair
bin'l-'Awwam mengikutinya pula menganut Islam. Kemudian
menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi yang
lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu
datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya
menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.
Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak
Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka
kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila
mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah
gunung di Mekah. Keadaan serupa ini berjalan selama tiga
tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk
Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin
memperkuat iman kaum Muslimin.
Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena
teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh
bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh
kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu berlaku
adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. Pandangannya
terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara
dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih,
lemah-lembut dan mesra. Malam haripun, dalam ia bertahajud,
malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan
kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari
pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu
dihadapkan hanya kepada Allah. Dia. yang menyerapkan hidup
semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung kehidupannya
sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah
beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya
kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah
berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka
dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya
belum lagi disentuh iman.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal
arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan
arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum
yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang
tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar
di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria
dan wanita.
Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang
ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih
berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak
menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan
lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss,
Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada
kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan menang ialah
Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai
kurban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat
dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat
kemenangan.
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah
datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan
itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu
datang:
"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat.
Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang
mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau,
katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.'"
(Qur'an 26: 214-216)
"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak
usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94)
Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke
rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka
kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu menyetop
pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan
tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang
mereka.
Selesai makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada
seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu
ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan
kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan
akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu
sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam
hal ini?"
Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan
meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu ia
masih anak-anak, belum lagi balig.
"Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah
lawan siapa saja yang kautentang."
Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa
terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib
kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya
dengan ejekan.
Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari
keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah.
Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat
Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: "Muhammad
bicara dari atas Shafa." Mereka lalu datang berduyun-duyun
sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"
"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa
pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah
kamu?"
"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum
pernah kami melihat engkau berdusta."
"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang
sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf,
Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah
memerintahkan aku memberi peringatan kepada
keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau
akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat
kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan
selain Allah."
Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki
berbadan gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil
meneriakkan: "Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan
kami?"
Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi
kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:
"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada
gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat
akan menggulungnya" (Qur'an 102:1-8)
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang
lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di
kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja
orang yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih
mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan
untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah
diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang
berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri.
Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan
memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam
kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh
(lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu
menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan
terhadap jiwa.
"Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak.
Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu
ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan
meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat neraka. Kemudian, tentu
akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu
kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu."
(Qur'an 111: 1-3)
Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu!
Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak
ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap
manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya!
Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan
pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada
Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada
Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang
Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin
(pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusiapun, atau
malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara Allah
dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang
Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai
pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan,
yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah
yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang
semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya.
Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat
balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang
lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu
Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu -
sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia
tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni
oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah
menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?
Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan
Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar
bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu
merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang
mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara
mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang
dinamakannya kenabian itu.
Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah
membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr
bin'l-'Ash dan Abdullah ibn'z-Ziba'ra, supaya mengejek dan
menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga
tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang
harus melayani.
Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang
tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan
dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti pada
Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak
disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu
dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa
Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul
di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang
yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat
Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata
air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu
betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
Tidak hanya sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau
mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ejekan mereka
makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu
tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan
supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?
Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang
kepada Muhammad menjawab debat mereka
"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak
bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak
Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya
kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku.
Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira
bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188)
Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira.
Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak
masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali
yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?
! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang
bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang
diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang
sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula
mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal
kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan
yang benar itu adalah mujizat dari segala mujizat? Kenapa
mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi
dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu
nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah
mereka atau tidak?
Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak
lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau
berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang
tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya.
Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut
pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang
dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup,
tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau
membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya
iapun takkan dapat mempertahankan diri.
Muhammadpun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala
mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia
mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan
demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan
dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta
apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia,
sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka.
Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok
kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa,3 atau
disekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah
mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan
berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu
sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah
nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, 'Uzza dan semua
berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan,
melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau,
andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah
melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil
apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan
bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?
Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia
sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah
menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu
pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan diketahui oleh Abu
Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.
"Abu Talib," kata mereka, "kemenakanmu itu sudah memaki
berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai
harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita.
Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah
kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga
seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak
kami menghadapi dia."
Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali.
Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas
dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.
Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi
mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai 'Umara
bin'l-Walid bin'l-Mughira, seorang pemuda yang montok dan
rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat,
dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka.
Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan
Quraisypun terus juga berkomplot.
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.
"Abu Talib'" kata mereka, "Engkau sebagai orang yang
terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta
supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga
kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang
memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan
kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia
diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak
nanti binasa."
Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan
dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau
membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus
dilakukannya?
Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan
Quraisy. Lalu katanya: "Jagalah aku, begitu juga dirimu.
Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul."
Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah
sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu
hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian
menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi
dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus
dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah
gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan
kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan
busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu,
memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia
dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan
mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa
manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?
Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela
dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan
melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak
berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy
yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah
rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran.
Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang.
Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu
sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian
itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan
meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman
kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah
atau ragu-ragu.
Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia
menoleh kepada pamannya seraya berkata:
"Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan
maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan
kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan
kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya."
Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman
itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad,
tertegun ia. Ternyata ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan
kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga
hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Airmatanya terasa menyumbat karena sikap
pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas
kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang
ditempuhnya itu.
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia
masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan
sikap kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad
datang lagi, yang lalu katanya: "Anakku, katakanlah
sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun
juga!"
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib
disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib.
Pembicaranya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana
yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya
Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua
menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia
menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak
lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah
tentu karena terpengaruh oleh fanatisma golongan dan
permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi
bukan fanatisma itu saya yang mendorong Quraisy bersikap
demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan
yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad
di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta
ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang
Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di
kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah
seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka dapat
membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam
menyatakan pendiriannya, seperti yang pernah dilakukan oleh
Umayya b. Abi'sh-Shalt dan Waraqa b. Naufal dan yang lain.
Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak dapat mereka
pastikan - maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun
akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas
dasar kebenaran, maka orangpun akan meninggalkannya seperti
yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran demikian ini
tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari
tradisi yang ada dan dia sendiripun akan diserahkan kepada
musuh supaya dibunuh.
Terhadap gangguan Quraisy ia dapat berlindung kepada
goIongannya, seperti kepada Khadijah bila ia mengalami
kesedihan. Baginya - dengan imannya yang sungguh-sungguh dan
cinta-kasihnya yang besar - Khadijah adalah lambang kejujuran
yang dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang dapat
menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul
karena siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya
serta melakukan penyiksaan terus-menerus terhadap
pengikut-pengikutnya.
Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah mengenal
hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu langsung menyerbu
kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa dan dipaksa
melepaskan agamanya; sehingga di antara mereka ada yang
mencampakkan budaknya, Bilal, ke atas pasir di bawah terik
matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan batu dan akan
dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam!
Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: "Ahad, Ahad,
Hanya Yang Tunggal!" Ia memikul semua siksaan itu demi
agamanya.
Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal
mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan.
Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa itu
oleh Abu Bakr dibeli - diantaranya budak perempuan Umar
bin'l-Khattab, dibelinya dari Umar [sebelum masuk Islam]. Ada
pula seorang wanita yang disiksa sampai mati karena ia tidak
mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.
Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina
dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami
gangguan-gangguan - meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim
dan Banu al-Muttalib. Umm Jamil, isteri Abu Jahl, melemparkan
najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad hanya
membuangnya saja. Dan pada waktu sembayang, Abu Jahl
melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih
untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan
demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, puterinya, supaya
mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di
samping semua itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata
biadab dan keji kemana saja mereka pergi.
Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin
tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka
menerima siksaan dan kekerasan itu - demi akidah dan iman
mereka.
Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad a.s. ini
adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh
sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi
pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta
kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang
menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran itu.
Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka
yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari
belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup kedalam jiwa
manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat memalukan.
Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan yang
lain - ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya,
orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah.
Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya
diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin
gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya
itu sudah padat oleh ucapannya: "Demi Allah, kalaupun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di
tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas
ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang
akan membuktikan kemenangan itu; di tanganku atau aku binasa
karenanya."
Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi
mereka, mautpun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan
membimbing Quraisy ke arah itu. Kadang orang heran, iman sudah
begitu mempersonakan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini
belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur'an yang turun masih
sedikit. Kadang juga orang mengira, bahwa pribadi Muhammad,
sifatnya yang lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta
kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di samping kemauan yang
keras dan pendiriannya yang teguh, adalah sebab dari semua
itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada
sebab-sebab lain yang juga patut diperhatikan yang tidak
sedikit pula ikut memegang peranan.
Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip
sebuah republik Dari segi keturunan ia menempati puncak yang
tinggi. Hartapun sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia
dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci Ka'bah dan penguasa
urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada
mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta
kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama.
Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi
sebelumnya. Musa yang dilahirkan di Mesir bertemu dengan
Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga
yang berkata: "Aku adalah tuhanmu yang tertinggi," yang
dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada
orang dengan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan
pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan
adalah revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus.
Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air
dengan syaduf dari sungai Nil itu dihadapan Tuhan sama
sederajat? Jadi dimana ketuhanan Firaun itu dan dimana pula
ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan
revolusi itupun terlebih dulu harus bersifat politik.
Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa itu sudah mendapat
perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian, supaya orang
menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mujizat-mujizat. Ia
melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular
yang bergerak-gerak, menelan semua hasil pekerjaan tukang
tukang sihir Firaun itu. Itupun tidak memberi hasil apa-apa
buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanah airnya. Dalam
hijrahnya itupun diperkuat pula ia dengan sebuah mujizat yaitu
terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu.
Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan Palestina,
yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di
bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya
sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi,
mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu dan
bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan
belaskasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap
pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga
diperkuat dengan mujizat-mujizat: menghidupkan orang mati dan
menyembuhkan orang sakit; dan yang lain diperkuat oleh Ruh
Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu pada
dasarnya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga,
lepas dari detail yang bukan tempatnya untuk dijelaskan di
sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam ini, dan yang
terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya juga.
Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan di
atas, sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual.
Dasarnya adalah mengajak kepada kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari mula sampai
akhir. Karena jauhnya dari segala pertentangan politik,
struktur republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah
mengalami sesuatu kekacauan.
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara
dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai
persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah
mengharuskan kita - apabila kita hendak mengadakan suatu
penyelidikan - terlebih dulu membebaskan diri dari segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada
diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah
kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen,
mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan
silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi.
Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan
demikian itu dengan sendirinya masih perlu dibahas dan
diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah merupakan
suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum
memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah
yang terbaik yang pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan
berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah pula
yang menjadi pegangan Muhammad.
Bagaimana pula mereka yang menjadi pengikutnya itu puas dan
beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala kepercayaan
lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan sekarang mereka
mulai memikirkan masa depan mereka.
Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala
sendiri-sendiri. Mana pula gerangan berhala yang benar dan
mana yang sesat? Di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri
sekitarnya ketika itu memang sudah ada penganut-penganut
Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah
matahari. Mana diantara mereka itu yang benar dan mana pula
yang sesat?
Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan
jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari
segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan.
Merenungkan dan meninjau pada dasarnya sama. Yang pasti ialah
bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan.
Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan.
Manusia berhubungan juga dengan hewan dan dengan benda, bumi
kita berhubungan dengan matahari, dengan bulan dan tata-surya
lainnya. Dan semua itupun berhubungan pula dengan
undang-undang yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar
atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar
bulan, malampun takkan dapat mendahului siang. Andaikata di
antara isi alam ini ada yang berubah atau berganti, niscaya
akan berganti pulalah segala yang ada dalam alam ini.
Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi,
menurut undang-undang yang sudah berjalan sejak jutaan tahun
yang lalu, niscaya bumi dan langit ini sudah akan berubah
pula. Dan oleh karena yang demikian ini tidak terjadi, maka
atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari
situ ia tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia
kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata manusia menyerah.
Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini menyerah semata
kepada Zat ini, persis seperti manusia. Baik manusia, alam,
ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti
dan sumbernya. Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata
ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan
jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus
melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi
itu. Jadi segala yang disembah manusia selain Allah berupa
berhala-berhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari,
hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan martabat
dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal pikiran
manusia serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya; yang
dapat membuat kesimpulan atas undang-undang Tuhan terhadap
ciptaanNya itu, dengan jalan merenungkannya.
Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang diketahui
kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan
wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu adalah puncak dari
bahasa sastra yang telah menjadi mujizat dan akan terus
berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara melukiskannya
dengan keindahan yang luarbiasa itu kini tampak di hadapan
mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi,
berhubungan dengan Zat Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad
menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang akan sampai
ke tujuan. Mereka akan mendapat balasan atas kebaikan itu
bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan
tekun. Setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan
perbuatannya.
"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan dilihatnya;
dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat atompun akan
dilihatnya pula." (Qur'an 99: 7-8)
Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih tinggi
kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan
belenggu yang senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada
manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya
untuk mencapai puncak ketinggian martabat manusia itu! Demi
mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang
yang sudah beriman itu.
Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang begitu
agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat
menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl
bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada
agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya
ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya
sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah
seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai
kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu
mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa
kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah.
Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang
hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk
kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya,
diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di
kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela
Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencana
dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang
mencaci maki Muhammad dengan tidak semena-mena.
Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia
berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di
jalan Allah sampai akhir hayatnya.
Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan
kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan
dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat
mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak
dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban agama. Terpikir
oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara
seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya.
Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian
esensi ajaran rohaninya yang begitu tinggi, berada di atas
segala pertentangan ambisi politik. 'Utba b. Rabi'a, seorang
bangsawan Arab terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika
mereka dalam tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia akan
bicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal
yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa
saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.
Ketika itulah 'Utba bicara dengan Muhammad.
"Anakku," katanya, "seperti kau ketahui, dari segi keturunan,
engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa
soal besar ketengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka
cerai-berai karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan
menawarkan beberapa masalah, kalau-kalau sebagian dapat
kauterima Kalau dalam hal ini yang kauinginkan adalah harta,
kamipun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan
menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki
pangkat, kami angkat engkau diatas kami semua; kami takkan
memutuskan suatu perkara tanpa ada persetujuanmu. Kalau
kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai
raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf4 yang tak
dapat kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya
dengan harta-benda kami sampai kau sembuh."
Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (41 = Ha
Mim). 'Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu.
Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah
seorang laki-laki yang didorong oleh ambisi harta, ingin
kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit,
melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang
kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang
baik, dengan kata-kata penuh mujizat.
Selesai Muhammad membacakan itu 'Utba pergi kembali kepada
Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat
mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu.
Penjelasannya sangat menarik sekali.
Persoalannya 'Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga
pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak
menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka
kebanggaannya buat mereka.
Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana,
yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam
perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu
Hasyim dan Banu al-Muttalib.
Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi,
sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu
itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar.
Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi,
mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya
menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja
dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai
nanti Allah membukakan jalan buat kita semua."
Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abisinia
guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan
dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan
dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria
dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari
Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat
yang baik di bawah Najasyi.5
Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah
sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali
pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah
ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy
melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke Abisinia.
Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria tanpa kaum
isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai
sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.
Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.6
Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan
bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin
atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari
orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan,
ataukah karena suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu
dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur?
Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu
akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti dari sejarah
Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa
dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa
risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung
yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini
ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah
tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia.
Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi.
Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja
supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air
mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya
adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang
Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.
Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah
maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin
itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan
Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka
itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab
sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau
menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum
Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat,
sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad,
mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?
Waktu itu 'Umar ibn'l-Khattab adalah pemuda yang gagah
perkasa, berusia antara tigapuluh dan tigapuluh lima tahun.
Tubuhnya kuat dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah.
Kesenangannya foya-foya dan minum-minuman keras. Tetapi
terhadap keluarga ia bijaksana dan lemah-lembut. Dari kalangan
Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin.
Akan tetapi sesudah ia mengetahui, bahwa mereka sudah hijrah
ke Abisinia dan mengetahui pula rajanya memberikan
perlindungan kepada mereka, iapun merasa kesepian berpisah
dengan mereka itu. Ia merasakan betapa pedihnya hati, betapa
pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air.
Tatkala itu Muhammad sedang berkumpul dengan
sahabat-sahabatnya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah
di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi
Talib sepupunya, Abu Bakr b. Abi Quhafa dan Muslimin yang
lain. Pertemuan mereka ini diketahui 'Umar. Iapun pergi
ketempat mereka, ia mau membunuh Muhammad. Dengan demikian
bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami
perpecahan, sesudah harapan dan berhala-berhala mereka hina.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu'aim b. Abdullah. Setelah
mengetahui maksudnya, Nuiaim berkata:
"Umar, engkau menipu diri sendiri. Kaukira keluarga 'Abd
Manaf. akan membiarkan kau merajalela begini sesudah engkau
membunuh Muhammad? Tidak lebih baik kau pulang saja ke rumah
dan perbaiki keluargamu sendiri?!"
Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa'id b. Zaid
suami Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal
ini dari Nu'aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui
mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang membaca Qur'an.
Setelah mereka merasa ada orang yang sedang mendekati, orang
yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya.
"Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?!" tanya Umar.
Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara
lantang: "Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad
dan menganut agamanya!" katanya sambil menghantam Sa'id
keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi
suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri itu
jadi panas hati.
"Ya, kami sudah Islam! Sekarang lakukan apa saja," kata
meteka.
Tetapi Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka
saudaranya itu. Ketika itu juga lalu timbul rasa iba dalam
hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya supaya
kitab yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah
dibacanya, wajahnya tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal
sekali atas perbuatannya itu. Menggetar rasanya ia setelah
membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang luarbiasa dan agung
dirasakan, ada suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi
lebih bijaksana.
Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang
tenang sekali. Ia langsung menuju ke tempat Muhammad dan
sahabat-sahabatnya itu sedang berkumpul di Shafa. Ia minta
ijin akan masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan
adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah
mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.
Dengan Islamnya Umar ini kedudukan Quraisy jadi lemah sekali.
Sekali lagi mereka mengadakan pertemuan guna menentukan
langkah lebih lanjut. Sebenarnya peristiwa ini telah
memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur
baru berupa kekuatan yang luarbiasa yang menyebabkan kedudukan
Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap
Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua belah
pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik
baru, penuh dengan peristiwa-peristiwa, dengan
pengorbanan-pengorbanan dan kekerasan-kekerasan baru lagi,
yang sampai menyebabkan terjadinya hijrah dan munculnya
Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar