Kisah Wali Songo
Bab I
Pendahuluan
Pada era globalisasi ini, hampir semua bidang
kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah dirambah oleh
bangsa lain, terutama bangsa barat yang note bene bukan Islam bahkan cenderung
tidak menghiraukan norma-norma agama.
Pesta film dari Hollywood
tidak lagi harus ditonton melalui layer perak di gedung bioskop, melainkan
langsung masuk ke dalam rumah dan disodorkan di hadapan anak-anak dan generasi
muda kita. Kita sudah tahu jenis hiburan apa saja yang disajikan para produser Hollywood untuk meracuni benak dan cara berpikir generasi
muda di Indonesia
ini.
Pornografi, kekerasan dan tindak anti sosial
lainnya. Ironisnya hal itu ternyata malah akrab dengan hidup keseharian kaum
muda kita. Mereka lebih suka menikmati film-film import ketimbang film buatan
dalam negeri.
Belum lagi jalur Internet yang bebas sensor
memasuki layar komputer kita. Dari internet tersebut seorang pelanggan dapat
melihat tampilan majalah porno dan sekaligus mengcopy gambar-gambar bebas aurat
tampa dikenakan
sanksi apapun.
Jalur Internet bisa bermanfaat bagi kita, terutama
para mahasiswa kita yang duduk diperguruan tinggi, karena mereka dapat menyerap
informasi dengan biaya murah dalam waktu cepat. Tapi sisi negatif dari masuknya
internet, film asing, budaya asing dan sebagainya tetap dapat membahayakan
generasi muda kita.
Karena itu kita tak usah heran bila membaca surat kabar di Surabaya
yang menampilkan artis penari telanjang sedang berpose bersama pengunjung suatu
club karaoke.
Itulah bukti intervensi budaya asing yang tak dapat
disaring dan dibendung lagi oleh orangorang yang tidak beriman.
Kami sengaja menyusun buku Wali Sanga ini adalah
dengan harapan agar para orang tua, para guru dan para penulis scenario maupun
penulis buku lainnya mempunyai wawasan lebih luas. Betapa banyak sebenarnya
budaya, legenda dan cerita rakyat Islami yang pantas dikemas dengan penampilan
canggih untuk ditampilkan kepermukaan agar memikat, menarik perhatian generasi
muda sehingga mereka bercermin diri dam merasa bangga. Oh, ternyata ada juga
kisah yang pantas dikagumi dan diteladani.
Buku yang berisi riwayat para penyebar agama Islam
di Nusantara ini, dimaksudkan sebagai masukan data, sumber inspirasi para
penulis scenario drama, sinetron, film dan sebagainya untuk ditampilkan lagi
dengan suasana yang lebih memikat di hati para permisa.
Para Wali tersebut, kebanyakan sakti, berkaromah,
lebih hebat ketimbang Pendekar Ulat Sutra maupun Pemanah Burung Rajawali. Para
Wali bersifat luwes, tegas, agung, berwibawa, belas kasih, dan telaten dalam
membina masyarakat yang masih awam maupun masyarakat yang sudah mapan
pengalamannya terhadap pengetahuan agama.
Kami tidak hanya menuliskan tentang riwayat Wali
Sanga itu sendiri, melainkan juga menenuliskan riwayat sebagaian murid-murid
dan orang-orang terkenal yang erat kaitannya dengan sejarah hidup Wali Sanga.
Kaum orientalis dan mereka yang memusuhi Islam
telah menuduhkan suatu kebohongan besar atas sejarah Wali Sanga, ini dapat kita
lihat pada dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya yang termuat
dalam Serat Darmo Gandul. Di situ penulis Darmo Gandul sengaja melecehkan
ajaran-ajaran agama Islam dan mendiskreditkan Raden Patah selaku Sultan Demak
Bintoro sebagai anak durhaka karena berani menyerang ayahandanya selaku Raja
Majapahit.
Padahal Majapahit bukannya jatuh oleh Demak,
melainkan oleh seorang raja Keling atau Kediri.
Baru sesudah itu pihak Demak yang note bene pewaris Kerajaan Majapahit
menyerang Raja Girindrawardhana dari Kediri.
Ada juga data nyleneh dari Babad
Tanah Jawa yang harus kita waspadai sebagai penyusupan tangan-tangan jahil atas
kesucian diri para Wali.
Selaku muslim yang baik tentu kita tidak boleh
tinggal diam atas intervensi ini. Itulah sebabnya kami sengaja menyusun buku
ini dengan versi yang agak lain dari yang sudah ada. Bukannya kami mengada-ada,
tetapi menampilkannya kembali dari sudut pandang yang berbeda. Dan jelas akan
menyimpang dari literature yang ada.
Para Wali sama sekali tidak menggunakan kekerasan
untuk berdakwah. Mereka menempuh jalan damai, dakwah bil hal, dengan tingkah
laku dan perbuatan mereka sendiri yang sesuai denga ajaran Islam. Sehingga
tampaklah mutu dan ketinggian agama Islam yang sangat demokratis itu.
Mereka juga memanfaatkan media masyarakat pada saat itu sebagai
sarana penunjang dakwah. Mereka berusaha keras menciptakan budaya baru yang
penuh kreatifitas sehingga lahirlah aneka jenis mainan dan dolanan anak-anak
yang bernafaskan falsafah Islami, baik berupa tembang atau lagu, gending tarian
dan aneka jenis permainan lainnya.
Mereka juga menciptakan sastra Jawa yang sangat tinggi nilai
estetis dan falsafahnya, seperti Suluk, lakon Wayang Caranga Dewa Ruci, dan
beberapa karya sastra lainnya. Kisah perjuangan mereka sangat unit. Pada saat
berhadapan dengan rakyat jelata, rakyat awam, orang-orang sakti, para sarjana
(Brahmana dan pendeta Budha) maupun ketika berhadapan dengan para penguasa.
Kita menuju keberhasilan mereka pantas kita renungkan, kita
jadikan pijakan untuk melangkah di jaman modern ini dengan tantangan dakwah
yang berbeda namun pada hakekatnya sama yaitu MENGEMBANGKAN AGAMA ISLAM di
daerah masing-masing.
Maulana Malik Ibrahim, also
known as Syekh Maghribi, is generally considered to be the 'father' of the Wali
Songo. Little is known about his origins, although it has been suggested that
he came either from Persia, Turkey, or Northern India.
A possible date for his arrival in Java is A.D. 1404. As one of Indonesia's pioneers in the spreading of the
Islamic faith, he was based in East Java and
attracted converts in the region of Gresik, where he died in 822 H. (A.D.
1419). His tombstone is of particular interest, since it was not made locally
but ordered and shipped to Java from Gujarat in north western India. The
stone, carved from white marble and intricately inscribed with Arabic letters,
is one of a very few which have found their way to Indonesia. Other examples are known
to exist in Palembang and in the North Sumatran province of Aceh.
*****
Bab II
Sunan Gresik/Maulana Malik Ibrahim
1. Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa
Tanggulangin. Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai
meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan
tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar
rumah, langsung berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing
ketika melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus
memacu kudanya hingga ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di
barisan terdepan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar
mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya.
Yang pertama tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara
kerajaandi dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan
aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus,
namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya
adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka
memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak
keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan
dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta
benda yang kalian punyai di pelataran rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh
desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup
rapat. Tak seorangpun berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar
ucapan orang yang menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat
menghela nafas panjang. “Sampai kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya
lirih. Sebenarnya aku sudah muak melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara
apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus
melakukannya. Terus melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan
nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan .”
Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa
saat kemudian, karena tak ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung
Pujud nampak merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun orang akan
membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut. Tapi
kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian
memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang
sudah mereka siapkan. Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain
tinggal menyahutkan api pada obor itu. Dalam tempo singkat tiga belas orang itu
sudah memegang obor menyala di tangan kanan. Sementara tangan kirinya tetap
memegang kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan
api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah
bangunan aneh. Sebuah rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng.
Nampaknya baru saja didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang
matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan
mulut komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya
Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan
tempat beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan
mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang berada di belakangnya
untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa
yang kalian rundingkan. Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara
mengejek.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang
masih duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus
dengan kain putih hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat
pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah
lama kudengar nama dan sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali
sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu ?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat
keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata
seperti kepada dirinya. Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk
bahkan menyembah-nyembah.
“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak
muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk
untuk bersembunyi di tempat ini?”
Pemuda itu malah menatap lekat kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke
arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan
nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa
dilecehkan. Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama
wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya
bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan
itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam
diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk
Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah
dia seekor macan atau sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma
mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.
“Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana
caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata
Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si
pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya
yang sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.
Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan
pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki
kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan
dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari
badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada
seorang anak muda berani cobacoba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !”
“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur.
Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik
sebelum terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas wajah dan
kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang
anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing,
Pujud ? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling
mengonggong ?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati
mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu
kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak
muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya
yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias
dihindarkan lagi.
‘sebenarnya aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala
kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar Gafur.
“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk
Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya
membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang
Gafur berteriak kaget.
Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah
membiarkan Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal
sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak mencengkeram
wajahnya bahkan langsung balik mengirim serangan dengan menendang dada Julung
Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang
beberapa langkah.
Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo.
Benar-benar kecele. Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah
Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika
kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga sekali gebrak dia
dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.
Tadinya ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali
serangan saja. Itu sebabnya dia langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti
tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram dan langsung memutar leher
Gafur, sekali pelintir putuslah nyawa pemuda itu.
Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena
tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut
golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke
depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur.
Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat
dingin segera membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin
juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat
kecepatan gerak seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara
Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang
dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut
sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu
mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia semuda itu sudah menguasainya
dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak akan pernah
menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh
jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering
mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga biasa.
Sementara Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh
pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua
ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit
maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan. Semua itu
ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara.
“Kalau mau sebenarnya sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”
Julung Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk
Penjalin memang selalu jadi saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang
tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang
terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala pertimbangan akal sehat. Kini
Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu ketika Gafur
merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan perampok
itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur.
Gafur menangkis dengan tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan
Gafur yang bakal putus dibabat golok itu.
Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum
hilang rasa terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan
teramat keras dari sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh
Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah dengan keras
sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terengah-engah. Tiga belas
anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam
saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”
Delapan belas prajurit itu langsung turun dari kudanya
masing-masing. Dengan menghunus golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang
Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah
kawanan perampok yang hendak mengeroyok Gafur.
Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian
ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya.
Belum lagi puluhan penduduk yang menyerang dengan nekad dengan senjata parang,
golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk padi, lemparan batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu
mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret
begitu mendengar gertakan mereka. Tak ada yang berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu
dengan macan rupanya benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa
Tanggulangin agaknya telah berubah menjadi sekawanan harimau terluka. Siap
menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik ketenangannya. Julung Pujud
melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran.
Mendekati kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo.
Sementara delapan belas anak buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk
desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah
berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat
mengimbangi ilmuku.”
Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari
jarak jauh.
Serangkum hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah
merasakan kesiuran angina sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin
mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak
tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.
“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal
membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap
disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke arah
penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan
dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu bertempur. Beberapa
penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima
orang penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu
meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih tertengger diatas dahan pohon
mangga.
Tampa diduga tiba-tiba Tekuk
Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara
beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang anak
panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi
dengan tenaga sakti. Daun itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya,
tembus dan meluncur lagi ke arah batang pohon kelapa. Amblas dan menancap do
batang pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya
?
Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang.
Melainkan lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap
di salah satu dahan pohon mangga, tepat diseberang Tekuk penjalin.
“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa, “Tegur Gafur
dengan sopan sekali. “Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ?
Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa
suatu alasan yang benar.
Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah payah
selama puluhan tahun” ujar Gafur dengan suara datar.
Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu
demikian menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh
dan memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari
melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk
Penjalin tercekat. Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning
jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa
kasihan pada para penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah
pengalaman dibanding kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur
kerajaan Majapahit.
Tampa basa basi lagi Gafur
mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan Al- Karomah. Tekuk
Penjalin langsung roboh terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah.
Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian tubuhnya nampak
matang biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik ke atas
punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya secara diam-diam
untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud bersiap-siap hendak
melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata
penasaran.
“Andika keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk
Penjalin yang terkapar tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci
ilmu setan. Ilmu yang barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat
Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana ?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus
bertempur dengan kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur
dengan pandang mata mencorong.
Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah
makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar.
“Jika kau tak mau perintahkan anak buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan
kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya tanpa main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya
memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika
telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan. Benar-benar
mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup bahwa seolah-olah di
dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.
“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk menyerah ! “ Ancam Gafur
dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan
ke dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya bergolak,
“Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat
tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak muda. Aku kecewa, daripada
hidup menanggung malu, lebih baik aku mati ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan
mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan
justru meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak dadanya.
“Juhhhhh .......... !”
Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya.
Seketika wajahnya yang putih bersih berubah jadi merah padam pertanda marah.
Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat
menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat wajah
Gafur yang merah membara itu tergetarlah hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun
sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya.
Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat
kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya
menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan
berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia menyebut , “Astaghfirullah ..”
Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang
menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan
ludah Tekuk Penjalin yang menempel di wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin
keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk
dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah
aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh ?”
“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau meludahiku dan sebelum
aku marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi
sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi
marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung.
Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan
niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari
jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas dasar
kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan
ajaran agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu
?” tanya Tekuk Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk
agama Islam akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi
pemimpin rampok.
Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau
mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung
sepenuh langit dan bumi.
Namun kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara
sungguh-sungguh. Artinya kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat,
menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di
masa lalu akan dihapus semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena
tubuhnya masih lemah maka ia segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya.
Sementara itu, pertempuran antara penduduk desa dengan kawanan perampok masih
berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana.
“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”
Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata
bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur.
Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar
seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak
mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam
menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan
penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud
ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk
Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain,
maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan
risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau
hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di
tangan penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu
mendengar seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak
menuju Julung Pujud. “Ki
Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami
menempuh jalan kami sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan coba-coba
mengganggu desa ini lagi.
Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi
kalian !”
“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak
buahku yang jantan !” kita tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci
!”
Julung Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh
orang anak buahnya yang tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa
penduduk desa yang masih merasa geram dan dendam segera menendang dan memukuli
delapan perampok yang telah menyerah, duduk bersimpuh di atas tanah tanpa
mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak
pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.
“Serahkan mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur
dengan suara berwibawa.
Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk
berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya duduk bersimpul di belakang
Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka suara.” Muslim yang
kuat lebih disukai Allah.
Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari
pemaksaan kehendak orang lain, itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari
ilmu pencak silat di samping belajar ilmu agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar Gafur memberikan bimbingan
kepada penduduk setempat untuk mengenal dan memperdalam agama Islam. Bukan
hanya sekedar ceramah saja. Melainkan dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur
adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan
masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu para penduduk untuk
meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing merekabertanam padi
dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya
ia juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.
Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur
baru menawarkan dan mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada
mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka
menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung desa dari rongrongan para
perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh Tekuk
Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih
hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap
ajaran agama. Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan
kebenaran yang dinodai sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah
salah satu di antara sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi
atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu.
“Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek
Bantal itu ?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama
besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal
artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk
setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan
masyarakat sekitar. Ada
pula yang mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat
berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang
mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka
tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
2. Menanti Tetes Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk,
kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang
dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara
terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih
merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa.
Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya
dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat
istana tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya
kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai
menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja.
Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan,
perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang
melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah
harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk
merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya
kelaparan melanda di mana-mana.
Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka
situasi jadi semakin menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya
mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri
keadaan dan nasib penduduk setempat.
Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa
yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang
terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup
luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang
berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua
orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka
saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masingmasing.
Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga
punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang
yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan
ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh.
Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat.
Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan. Irama
gending segera berhenti.
Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat
segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian
pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya
oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
“Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran
menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia
berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh
kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di
atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang
dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan.
Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati
kerumunan orang itu. Kini sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi
sembari mendongkak ke atas langit.
“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau
panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian
teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua segera mendekati si gadis dengan senyum
menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut belati dari balik
pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan.
Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan
diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan dilupakan oleh seluruh
penduduk desa ini !”
“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si
gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si
gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat pasi.
“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang
memegangi sepasang tangan dan kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San
pendeta mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas
jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si gadis cantik dengan belati
itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas
terdengar oleh semua orang.
Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang.
Langsung menghampiri si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke
jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada
ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan
seorang gadis gadis cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka
kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek
Bantal lagi. Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya
dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki
tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.
Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing
lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan
goloknya untuk membelah kepala Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba
gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang
terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati
yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget.
Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding
ke arah Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci
itu kepada Dewa Hujan ?” tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang
sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke
desa ini ?” tanya Kakek Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun
tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “.
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban
orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena
pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang
dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan
belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua
lelaki kekar dibelakangnya untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya
sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang
pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Kakek Bantal hingga
babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tibatiba terasa kejang
tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta
tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan
kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang
dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik
bertanya.
“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.
“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada
dalam genggamanmu !
Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya
maka kami tak segansegan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara
kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata
Kakek Bantal dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala
kepadanya ?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta
segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan
cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan
aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah
mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai
persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa,
kemudian bertanya, Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan
gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami,
seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak
boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan
diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan
Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha
dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’
dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam
oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang
kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai
kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan
dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta
tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja !”
Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata,
“Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya
apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang
menciptakan langit dan bumi !”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia
memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik
untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa
itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai
kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima
muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hamper saja dikorbankan nyawanya oleh
pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh
bersujud kepada sesame manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah
dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit
untuk bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata,
“Kami sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami
menurunkan hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta
diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi ?”
Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan
hujan tanpa
mengorbankan manusia !”
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh
simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran
Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata
Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam.
Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa
itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan
tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.
Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang ke Gresik.
Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian
dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan
taraf hidup penduduk desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat
kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang
disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang
dilaluinya.
3. Siapa Kakek Bantal?
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah
ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal
itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti
Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan
Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam.
Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa
sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut
Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa
kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur,
tetapi sekarang kota
Jepara adalah daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin
Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 –
101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima
tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih tersimpan baik di Musium Granada
Spanyol sampai sekarang.
Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa
yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang
secara besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan datang ke Gresik tahun 1404 M.
Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah
Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha.
Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tetapi masih banyak yang
beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan
strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :
“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah
(kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka
berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat
sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan
penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan
masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak
beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan
imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik.
Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang
salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan
keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat
diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong
fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara
yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap
masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah
yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :
Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :
“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah
tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan
apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi
dan Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga
maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain
hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :
“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.”
Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :
“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari
pada-Nya, keridhaan
dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal,
mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang dimakamkan di kuburan itu.
“Inilah makam Almarhum
Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran,
sendiri Sultan dan para
Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi
syahid, cemerlangnya simbol
negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal.
Allah meliputinya dengan
Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah
wafat pada hari senin
12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli
pengobatan. Sejak beliau
berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam.
Dan orang-orang sakit banyak
yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua
orang, baik sesama muslim
atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati
penduduk setempat sehingga
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan
menjadi pengikut beliau
yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang
pengetahuannya masih awam sekali,
beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah
tersebut dibimbing untuk bisa
30
mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih
banyak lagi, sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu
Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat
terkenal, terutama dari kalangan
kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat
menjadi empat kasta;
kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta
tersebut kasta Sudra adalah
yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh
lebih tinggi. Maka ketika
Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam
Islam, orang-orang
Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim
menjelaskan bahwa dalam
agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja
bergaul dengan kalangan
yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua
manusia adalah sama, yang
paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa
kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak
kehidupan manusia untuk
berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangannya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga
di akhirat kelak, orang
yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih
mulia dari pada mereka yang
berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan
Waisya merasa lega,
mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh
sehingga wajarlah bila
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya
semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah
bersama-sama dan
mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang
tidak sedikit dari Raja
Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan
perjuangan
menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh Nusantara
maka beliau kemudian
mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam. Tempat
mendidik dan menggembleng
para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang
pertama kali di Nusantara itu
diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan
pendeta Brahmana yang
mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala
mereka.
Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha
dan Hindu yang mendirikan
mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara
frontal, melainkan beliau-beliau
itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik
kelompok Hindu dan Budha
tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh
memuaskan, dari pesantren
Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh
Nusantara.
31
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang.
Dimana para ulama
menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau
tidak menjawab dengan
berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang
sesuai dengan pesan Nabi
yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit,
ummat harus dibuat
gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford
Raffles; pada suatu hari
Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah
itu ?” Beliau tidak
menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga
hambaNya yang berbakti
dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang
kepadaNya.”
Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang
diperlukan adaNya.” Dua tahun
sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau
tidak hanya membimbing
ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga
memberikan pengarahan
agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau
pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian
penduduk. Dengan adanya sistim
pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil
panen bertambah banyak, para
petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan
tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan
meningkatkan taraf hidup
rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik
dan tenang.
Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran menjurus pada kekafiran.
Bagaimana mungkin bisa
beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan
sesuap nasi. Inilah resep
yang harus ditiru.
Seorang imam surau, musholla atau masjid adalah pemimpin
jamaahnya. Pada saat imam
mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami
menyembah dan kepadaMu
kami mohon pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah
sang imam atau
pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi,
menyembah dan
mohon pertolongan hanya kepada Allah ?
Bagaimana jika shalat makmumnya tidak khusyu’? sebabnya tidak
khusyu’ karena masalah
ekonomi. Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri
kepada Tuhan itu
bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi
makmumnya. Sehingga setiap
kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada
Tuhannya bahwa dia menyatakan
32
siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum
atau orang yang
dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi.
Itulah sebabnya para Wali tidak
hanya membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha
meningkatkan taraf
kehidupan ummatnya.
4. Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh
Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagaian
besar rakyat Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau
seluruh rakyat sudah memeluk
Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama
Hindu apakah di belakang
hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk
menghindari hal itu maka
Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja
Brawijaya untuk masuk agama
Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata
Raja Cermain juga
mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak
Prabu Brawijaya masuk
agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain datang ke Gresik
disertai putrinya yang cantik
rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam
misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit
mengenal agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain
itu menghadap Prabu
Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras
mempertahankan agama
lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam
bila Dewi Sari bersedia
dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada
gunanya masuk Islam bila
ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya
hanya akan merusak
keagungan agama Islam.
Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka
beristirahat di Leran sembari
menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh
sayang sekali, selama
beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri
Cermain yang diserang wabah
penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar kematiannya Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya.
Raja yang memang tertarik
dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan
diri beserta ponggawa
kerajaan ke desa Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu
memerintahkan kepada para
ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari
dengan upacara
kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
33
Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran
maka Prabu Brawijaya
menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik
Ibrahim untuk diperintah
sendiri dibawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah
siasat dari sang Raja agar
rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak memberontak kepada
rajanya yang masih
beragama Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim
denga suka rela. Sesuai
dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan
kafir zimmi yaitu orangorang
bukan muslim yang mau hidup bersampingan dengan aman dalam satu
negara.
Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang
Wali yang dianggap sebagai
ayah dari Wali Sanga. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau
1419M.
*****
BAB III
Sunan Ampel
Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand.
Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak
dahulu
daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan
ulama-ulama besar seperti
sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai
perawi hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin
Jumadil Kubra, seorang
Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra
bernama Ibrahim. Karena
berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan
Samarqandi. Orang jawa
sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutkan
sebagai Syekh
Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh
Jamalluddin Jumadil Kubra
untuk berda’wah ke negara-negara Asia.
Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian
diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja
Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah
terletak di Muangthai. Dari
perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi
mendapat dua orang
putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden
Santri atau Sayyid Alim
Murtolo.
34
Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati
diperistri oleh Prabu
Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan
Ratu Majapahit dan
tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Raja Majapahit
sangat senang mendapat
istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah menarik dengan
Dewi Sari.
Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan
kepada para adipatinya yang
tersebar di seluruh Nusantara.
Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang
putri Cina yang diberikan
kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat
itu sedang hamil tiga bulan.
Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si
jabang bayi terlahir ke
dunia.
Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan
atau lebih terkenal
dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang
menjadi raja di Demak
Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan
Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena
terjadinya perang saudara,
dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam
Wuruk yaitu Prabu Brawijaya
Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke
istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini
membuat sang Prabu bersedih hati.
Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan
para pangeran yang suka
berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya
sadar betul bila kebiasaan
semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara
sudah kehilangan kekuatan
betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan
hati suaminya. Dengan
memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah
tidak takut lagi kepada Sang
Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan
tindakan yang tidak
terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi
kebiasaan mereka bahkan para
35
pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh
berbahaya bila hal ini
dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu
Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah
bikhu dan brahmana
untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka
masih tetap seperti
semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap
sepele.”
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan
budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi
Candrawulan di Negeri Cempa.
Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk
mendatangkan Ali
Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa
bersedia mengirimkan Sayyid
Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke
negeri Cempa untuk meminta
Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan
raja Cempa tidak
keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid
Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah
dan kakaknya. Sebagaimana
disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana
Ibrahim Asmarakandi dan
kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
36
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di
Tuban. Tetapi di Tuban,
tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh
sakit dan meninggal
dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih termasuk ke
camatan Palang kabupaten
Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah
keliling ke daerah Nusa
Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat
sambutan raja Pandita Bima,
dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri,
beliau wafat dan
dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan
ke Majapahit menghadap
Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau
mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia
?” tanya sang Prabu.
Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah
menjawab. “Dengan
senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk
mencurahkan kemampuan
saya mendidik mereka.”
“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah
sebidang tanah berikut
bangunannya di Surabaya.
Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran
Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali
Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali
Rahmatullah menetap beberapa hari di
istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit
yang bernama Dewi
Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah
seorang Pangeran Majapahit,
karena dia adalah menantu raja Majapahit. Selanjutnya, pada hari
yang telah ditentukan
berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut
sebagai Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan
itu. Diantaranya adalah
pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti
Karimah yang kemudian
menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga
melakukan da’wah sehingga
bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke
Ampeldenta. Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau
adalah anggota keluarga
kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada
jaman dulu di tandai
dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Raden Rahmat.
Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah
tersebut maka
kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
37
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat
setempat. Langkah pertama yang
dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid
sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau
mendirikan pesantren
tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa
saja yang mau datang
berguru kapada beliau.
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau
tidak mau melakukan lima
hal
tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan,
mencuri, madat atau
menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat.
Raja menganggap agama Islam
itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden
Rahmat kemudian mengumumkan
ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi
marah, hanya saja ketika
dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh
Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden
Rahmatpun memberi
penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Wali
Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa.
Beberapa murid dan putra
Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah
Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan
Drajad adalah putra Sunan
Ampel sendiri.
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya
kerajaan Islam dengan rajanya
yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri.
Beliau juga turut membantu
mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M.
Salah satu diantara empat
tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai
dengan yang membuatnya
yaitu Sunan Ampel.
Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati,
hal ini didukung oleh Sunan
Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam
permusyawaratan para Wali di
masjid Agung Demak.
Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa
seperti selamatan, bersaji,
kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar
pendapat Sunan Kalijaga
tersebut bertanyalah Sunan Ampel :
38
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat
dan upacara lama itu nanti
dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal
ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,
“Saya setuju dengan
pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa
diarahkan kepada agama
Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan
kepercayaan lama yang
jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali.
Sebagai misal, gamelan dan
wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan
selera masyarakat. Adapun
tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari
akan ada orang yang menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya
mengandung hikmah.
Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar
agama Islam cepat diterima
oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut
pandai mengawinkan adat
istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak
yang berbondong-bondong
masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih
dahulu dan sedikit
demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan
kebersihan tauhid dalam iman
mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam
harus disiarkan dengan
murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki,
sehingga membuat
ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar
dan bersih dari segala
macam bid’ah.
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila
Sunan Ampel mendapat
beberapa putra di antaranya :
1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5. Siti Alwiyah
6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.
Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo
beliau dikaruniai dua
orang putri yaitu :
39
1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti
adalah kesiapan mereka
dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat
rakyat Jawa sudah jelas
Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga
dan Sunan Gunung Jati.
Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi
percekcokan yang menjurus pada
pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor
penjaga aliran lama itu
menjadi menantu Sunan Ampel.
Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung
pendapat Sunan Kalijaga.
Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada
akhirnya juga
memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk
mendekati rakyat Jawa agar
mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali.
Saling menghargai medan
perjuangan masing-masing anggotanya.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel.
Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau bahkan
pada malam harinya juga.
Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para
auliya muqorrobin
dan meridhai segala amal beliau.
*****
BAB IV
Sunan Giri
1. Syeh Wali Lanang
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak
Sembuyu. Salah sorang
keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan
rakyatnya memeluk agama
Hindu dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.
40
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula
permaisurinya, pasalnya putri
mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah
diusahakan mendatangkan
tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk
atau wabah penyakit.
Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa
esok sakit sorenya
mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir
semua kegiatan sehari-hari
menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi
Sekardadu hanya terbaring
di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit
pembalut tulang. Tanda putri itu
masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk
dari hidungnya. Sepasang
matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti
mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan
anak kita satu-satunya ini
terus dalam keadaan begini ?”
“Apa maksudmu Dinda ?” sahut Prabu Menak Sembuyu. “Bukankah aku
sudah berusaha
mendatangkan semua ahli pengobatan di negeri ini. Bahkan belum
lama berselang telah
mendatangkan tabib terkenal dari Pulau Dewata. Kurangkah usahaku
itu?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ......”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat
menyembuhkan putri kita akan kita
beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa saat. Pada akhirnya dia
setuju atas saran istrinya.
Segera dia perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih
Bayul Sengara untuk
mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid
Dewi Sekardadu akan
dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah
penyakit dari Blambangan
maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan.
41
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari,
seminggu bahkan berbulan-bulan
kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk
mengikuti sayembara
itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha
menghibur istrinya dengan
menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna
mengobati penyakit
putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bayul Sengara berangkat
melaksanakan tugasnya. Para
pertapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka
kesanalah Patih Bayul
Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan, masuk hutan keluar hutan,
naik dan turun gunung.
Pada suatu ketika mereka bertemu dengan seorang Resi bernama
Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka
sengaja sang patih
memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi
dengan senjata
terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk
terpekur dalam semedi.
Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam
dirinya. Sepasang matanya
masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya
dalam jarak dua langkah
tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh
mereka terjerembab ke tanah,
senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan
tanpa dapat bergerak
untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih
penasaran. Diam-diam dia
mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya
masih terpejam, Seperti
tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat
kearah jantung sang Resi.
Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih
kerajaan Blambangan
yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan
keris itu disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi.
42
Ujung keris itu meleset ke arah sang Resi, hampir saja menyentuh
dada Sang Resi. Namun tibatiba
keris itu membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara. Patih
Bajul Sengara melengak,
secepat kilat dia merundukkan badan. Keris itu melesat di atas
tubuhnya. Menghantam
sebatang pohon sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang pohon sawo yang cukup
besar, tinggal gagangnya saja
yang tampak. Patih Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan
gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang Patih, dilihatnya batang
pohon sawo itu mengeluarkan
asap dan kulit pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan
pohon sawo itu rontok,
berguguran ke tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara menjatuhkan diri, berlutut didepan
sang Resi. Resi Kandabaya
masih dalam sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti
tak pernah terjadi
suatu apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul
Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih hinggap di depan sang Resi.
Merpati itu meletakkan
selembar daun lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian
merpati itu mengeluarkan
bunyi. (mbekur istilah Jawanya). Aneh, sang Resi kemudian membuka
sepasang matanya
setelah mendengar suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera
mengelus-elus sayap
merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh
bermain-main atau
beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti apa yang
diucapkan sang Resi.
Kemudian dia mengepakkan sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari
tak jauh dari Padepokan
Resi Kandabaya.
43
Sang Resi segera mengambil daun lontar yang diletakkan merpati
tadi. Dia seperti tak
menghiraukan adanya Patih Bajul Sangara yang membenturkan
kepalanya berkali-kali ke lantai
Padepokan.
“Ampun ......... ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba
menganggu ketenangan
Bapa Resi ......... “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan sang patih. Dia sedang asyik
membaca gurat-gurat
berbentuk tulisan di daun lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca
tulisan didaun lontar,
sang Resi bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang
menggeletak kesakitan tanpa
dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali tepukan pada
bagian-bagian tertentu di tubuh
para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara
dapat bergerak lagi dan rasa
sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta merta sepuluh
orang itu menjatuhkan diri
berlutut didepan sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia berjalan kearah
Padepokan tempatnya
bersemedi tadi. Tapi kali ini dia tidak duduk bersemedi melainkan
tegak didepan Patih Bajul
Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul
Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ......... hamba harus yakin bahwa orang yang
hendak mintai pertolongan
memang benar-benar mumpuni.” ujar Patih Bajul Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang resi. “Kau hendak
memintaku mengobati penyakit sang
putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan
atas perintah Prabu
Menak Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba
kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah penyakit itu sudah
dikehendaki Dewata Agung. Aku tak
mampu mengusirnya, juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.
44
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia
tidak akan menyianyiakan
kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti
Resi Kandabaya dia
harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan
keterangan bagaimana cara
mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi
Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang tersirat di hati Patih
Bajul Sengara. Sesudah menarik
nafas panjang karena kesal melihat sikap sang Patih diapun
berkata, “Baiklah Patih, aku akan
memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang yang mampu
menyembuhkan
penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari
seluruh wilayah Blambangan.
Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam
wajah Patih Bajul
Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian
baginya untuk bertatap
muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang
terjadi, hamba ……… juga Gusti
Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari
sakitnya.” ujar Patih
Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut sang Resi.” Akan terjadi
sesuatu di luar perhitunganmu
dan hal itu akan membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin
mengetahui orang yang
hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu
terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba bersikap kurang ajar kepada
orang yang hendak
menyembuhkan Dewi Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang
diajukannya hendaknyan kau
dan Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam, beristirahatlah di Padepokan ini.
Besok pagi kalian boleh
berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu
hingga ke tempat
tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu
bermalam di Padepokan Resi
Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat
kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada pertapa di gunung Selangu itu.”
Pesan Resi Kandabaya
sebelum Patih Bajul Sengara meninggalkan Padepokan.
45
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara
penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan waktu yang cukup lama. Walau
mereka naik kuda
pilihan tapi pada tengah hari barulah mereka sampai di gunung
Selangu. Mereka terus
mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika
jalanan semakin naik,
maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu berhenti didepan sebuah goa.
Saat itu hari mulai gelap.
Tapi ada suatu keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang,
sebuah cahaya yang
mampu menerangi tempat sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para prajurit pengiring untuk
menunggu di luar goa. Dia
sendiri segera berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin
terang cahaya yang memancar
itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul Sengara terbelalak heran,
ternyata cahaya itu bukan
berasal dari sebuah lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh
seorang berjubah putih
yang sedang bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu
mengeluarkan cahaya
terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul
Sengara tidak berbuat macammacam
yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia
menunggu orang
itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah
Patih Bajul Sengara
menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam
perdamaian dari Resi
Kandabaya,” ujar sang Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama
aku bersahabat dengan Resi
Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar
oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui
sang pertapa. Pertapa
itu mengangguk –anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih.
“Sebelum aku
menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini,
“kata pertapa itu.
“Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia
mengobati Dewi Sekardadu dan
sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat
bahwa Prabu Menak
Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan
bersedia mendengar
nasehatku.”
46
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk di luar perhitunganku,
demikian bisik hati sang Patih.
Soal pindah agama dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu
dia harus menghadap sang
Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana
Ishak untuk pulang ke istana
Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih
dahulu,” kata Syekh
Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke Blambangan dan
menyampaikan persyaratan yang
diajukan Syekh Maulana Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu untuk melepaskan agama
lama yang terlanjur diyakini
selama bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi
Sekardadu, maka dia
terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana Ishak. Patih
Bajul Sengara
diperintahkan menjemput Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa
gunung Selangu, Patih
Bajul Sengara dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu.
Syekh Maulana Ishak akan
menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul Sengara ketika sampai di istana
Blambangan. Ternyata Syekh
Maulana Ishak sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak
Sembuyu menegur
keterlambatan sang Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana Ishak itu benar-benar
pertapa sakti yang mumpuni.
Dia yang menempuh perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan
Syekh Maulana Ishak yang
datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan tirakat untuk mengobati
Dewi Sekardadu. Di
malam keempat, sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat ditiupkan
wajah sang putri tiga
kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari
tidurnya. Seluruh isi istana
gembira menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak
Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya. Syekh Maulana Ishak diambil
menantu. Dijodohkan
dengan Dewi Sekardadu. Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi
Sekardadu supaya benar-benar
pulih seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke
seluruh negeri Blambangan untuk
memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda
rakyat Blambangan.
47
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya
diketahui bahwa rakyat
Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan
mereka. Makanan seharihari
mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka
buang hajat
disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh
mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan penyuluhan merawat kesehatan dan
membersihkan diri
serta lingkungan tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka
banyaklah rakyat
Blambangan yang sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya tergolong berat terpaksa
mendapat perawatan khusus
dari Syekh Maulana Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan
seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan, pernikahan Dewi Sekardadu dan
Syekh Maulana Ishak
dilaksanakan. Upacara diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena
Syekh Maulana Ishak
bukan hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu
melainkan juga mengusir wabah
penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai raja muda
atau Adipati. Mendapat
kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan
janji yang diucapkan oleh
Prabu Menak Sembuyu sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara pernikahan yang diselenggarakan
itu sudah terjadi
ketegangan antara Syekh Maulana Ishak dengan pihak keluarga
kerajaan. Yaitu disaat jamuan
makan dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada Syekh
Mulana Ishak
kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang haram, seperti babi
hutan, harimau, ular, kera
dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu sungguh sulit sekali.
Kalau dia tidak mau menyantap
hidangan itu nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu
Menak Sembuyu. Jika
disantap dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam,
maka diapun berdoá
kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoá terjadilah sesuatu diluar dugaan. Daging-daging
binatang haram yang sudah
dimasak itu tiba-tiba berubah menjadi binatang hidup berloncatan
kesana–kemari. Yang asalnya
dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau,
yang asalnya babi hutan
menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik. Pesta meriah
geger, Syekh Maulana
Ishak mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus
diperintahnya.
48
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal
itu tidak berlangsung lama,
karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih
Bajul Sengara meniupkan isyu
jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh Maulana Ishak sengaja
mempermalukan sang Prabu dengan
menghidupkan binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para
peserta pesta. Bukan hanya
itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak
rakyat Blambangan masuk Islam
dianggap membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku
penguasa tunggal kerajaan
Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syekh
Maulana Ishak yang masuk
Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana
Blambangan pindah menjadi
penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut kerajaan Blambangan ini dari
tangan Gusti Prabu,
demikian hasut Patih Bayul Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan
berontak dan memaksa kita
benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu
bahwa kita pura-pura saja
masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya pura-pura masuk agama Islam demi
kesembuhan
putrinya. Kini setelah termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara
dia mulai menaruh kebencian
kepada menantunya itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di
Blambangan.
Makin hari semakin bertambah banyak saja pengikutnya. Hati Prabu
Menak Sembuyu makin
panas mengetahui hal ini. Sementara Patih Bajul Sengara tak
henti-hentinya mempengaruhi
sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah
mengadakan terror pada
pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten
yang dipimpin Syekh Maulana
Ishak di culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama.
Walau kegiatan itu dilakukan
secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana
Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh
Maulana Ishak sadar, bila hal itu
diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak
perlu. Kasihan rakyat jelata
yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada
istrinya untuk
meninggalkan Blambangan.
49
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan
mertuanya. Lebih tidak tega
lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama
sewilayah Blambangan harus
berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku,
maka relakanlah daku
pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah
nama Raden Paku, jika lahir
perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus
meninggalkan istri tercinta
yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan
Blambangan seorang diri.
Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin
Patih Bajul Sengara
menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh
Maulana Ishak. Tentu saja
Patih kecele, walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak
menemukan Syekh Maulana
Ishak yang sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke
istana Blambangan.
Seluruh pengikut Syekh Maulana Ishak sudah diperintah Dewi
Sekardadu untuk menyerah agar
tidak terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk
sementara merasa bangga atas
kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara
di dadanya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki
yang elok rupanya.
Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang
dan bahagia melihat
kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang. Terlebih Dewi
Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih
ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu
mendapat limpahan kasih saying
keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut
Prabu Menak Sembuyu.
Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di
Blambangan. Maka Patih Bajul
Sengara mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak sebagai
penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah
Syekh Maulana Ishak.
Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan
meninggalkan
kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari
bencana kita harus kembali
50
kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh
Maulana Ishak,”
demikian kata sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana
Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi
bencana di kemudian hari.
Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan
ini disebabkan adanya
hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul
Sengara dengan alasan yang
dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam
hatinya dia terlanjur
menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror denga
hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada juga dia
memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi
yang masih berusia empat
puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang
kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar
sang Prabu kepada Dewi
Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati.
Ibu mana yang rela bayinya
dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi
tempat pembuangan itu adalah
lautan besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau
pembuangan bayi yang tak
berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang
dibuang ke tengah lautan,
peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari
pandangan mata. Meski
demikian wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya. Suasana di
tepi pantai itu sudah
sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu
karang. Matahari mulai
condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu
Dewi Sekardadu segera
pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk
tepekur di tepi pantai.
51
Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi sekardadu
beranjak dari tempatnya duduk.
Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke istana
Blambangan. Melainkan mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya
lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada
Syekh Maulana Ishak adalah
dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu
sendiri. Tapi ambisi itu
memudar manakala kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang
telah lama diimpikannya
sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan
ternyata lebih dahulu di sunting
oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil
menyingkirkan Syekh Maulana
Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh
dengan Dewi Sekardadu yang
telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia
harus menyingkirkan putra Syekh
Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan
suaminya yang dahulu
dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang
cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para prajurit bahwa Dewi Sekardadu
yang duduk terpekur di
tepi pantai hingga sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat.
Patih itu kelabakan, dia
perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu
sia-sia belaka. Sang Putri
seolah-olah lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum meneruskan perjalanan ke negeri
Pasai sempat mampir ke
Ampeldenta di Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia
berpesan, apabila
bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak
Sembuyu itu supaya
dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya
secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak berkeberatan menerima amanat
itu. Jika kita amati di
dalam Babat Tanah Jawa, sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel,
Syekh Maulana Ishak masih
terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah.
Dan kemudian beliau
mendapat sebutan Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana Ishak ke negeri Pasai.
Mendirikan perguruan Islam di
sana dan terkenal sebutan Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di
Gresik dekat makam Maulana
Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman
kejayaan Sunan Giri. Syekh
52
Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang
memerintah di Giri Kedaton
dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek
pemakaman Syekh
Maulana Malik Ibrahim.
2. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi
Selat Bali. Ketika perahu itu
berada ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan,
perahu itu tidak dapat bergerak,
maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab
kemacetan itu, mungkinkah
perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu
itu hanya menabrak
sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang
digunakan menyimpan
barang berharga.
Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu
dibuka, semua orang
terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang
bertubuh montok dan rupawan.
Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil
itu, tapi juga mengutuk
orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang
yang tidak
berperikemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan
pelayaran ke Pulau Bali.
Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan
diarahkan ke Gresik ternyata
perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan
manusia biasa. Pertama hanya
karena peti perahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti
ini kita buka perahu tak
dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik
ternyata perahu itu
melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan
manusia biasa. Pertama hanya
karena petiperahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti
ini kita buka perahu tak dapat
melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke
Gresik, kita laporkan
kejadian aneh ini kepada majikan kita,” demikian kata Nakhoda
kepada anak buahnya.
53
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan
rintangan. Padahal
berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama
dengan menentang gelombang
dan badai.
Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan selamat. Tetapi Nyai Ageng
Pinatih merasa cemas
melihat kapal perahu dagang miliknya kembali lebih cepat dari
biasanya. “Apa yang terjadi?
Mengapa kalian pulang secepatnya ini ?”
Lebih-lebih setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti
semula. Nyai Ageng Pinatih
mulai naik pitam.
Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya
membawa peti berisi bayi ke
hadapan Nyai Ageng Pinatih.
“Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat
ini. Kami tak dapat
meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng
Pinatih.
“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari membuka tutup peti itu.
Sepasang mata Nyai Ageng
Pinatih terbelalak heran melihat bayi montok, sehat dan rupawan
menggerakgerakkan
tangannya sembari menatap ke arahnya.
“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari
mengangkat bayi itu dari
dalam peti.
Begitu diangkat bayi itu tampak tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih
berbinar-binar, seketika itu
juga dia merasa sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu
adalah seorang janda yang tidak
dikaruniai seorang putrapun.
“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda
kapal.
54
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Benar Nyai Ageng.”
“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini ?”
“Banyak di antara kami yang menyukai bayi itu dan mengambilnya
sebagai anak. Tapi kami
tahu betapa lama Nyai Ageng mendambahkan seorang putra, maka lebih
tepat kiranya bila Nyai
Ageng yang merawat dan membesarkan bayi itu.”
“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng
menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda
dan anak buahnya. Memang
sudah lama dia mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa
senangnya.... Kepada
nakhoda dan anak buahnya.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih,
seorang janda kaya raya yang
disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah
samodra maka Nyai Ageng
Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik, walau Joko
Samodra bukan anak
kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih
sayang. Terlebih Joko
Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia
sangat berbakti selalu
bersikap menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia selalu
menghormati dan
menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah
menyakiti atau berbuat
usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak
yang menjadi buah hati
orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang tua. Ketika berumur
11 tahun, Nyai Ageng
Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden
Rahmat atau Sunan Ampel di
Surabaya.
55
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari
pergi ke Surabaya dan
sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar
anak itu mondok saja di
pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari
agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui
bahwa Joko Samodra
bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki
kecerdasan luar biasa. Semua
pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo
yang tidak terlalu lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air
wudhu guna
melaksanakan shalat tahajjud, mendoákan murid-muridnya dan
mendoákan ummat agar
selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudlu Raden Rahmat
menyempatkan diri melihatlihat
para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari
salah seorang santrinya.
Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan
mata, untuk mengetahui
siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi
ikatan pada pada
sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil
murid-muridnya itu.
“Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya
ada ikatan ?” Tanya Sunan
Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin
yakin bahwa anak itu
pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai
Ageng Pinatih datang untuk
menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk
bertanya lebih jauh
tentang asal usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah Selat
Bali ketika masih bayi. Peti
yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih
tersimpan rapi di rumah Nyai
Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk
melihat peti yang masih
tersimpan rapi itu. Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu
memang berasal dari
56
kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri
ukiran dan tanda khusus pada peti
itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekh
Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke
negeri Pasai maka Sunan Ampel
kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu
diganti dengan nama Raden
Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia
percaya penuh kepada Wali
besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung
seorang Pangeran
Majapahit itu.
3. Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab
bersahabat dengan putra
Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai
saudara kandung saja,
saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk
menimba pengetahuan yang lebih
tinggi di negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di Negeri
Pasai banyak orang pandai
dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar
Syekh Awwallul Islam. Dialah
ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak.
Pergilah kesana tuntutlah
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh
para santri dan berjuang
menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi
kehidupanmu yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim.
Dan begitu sampai di
negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan
bahagia oleh Syekh Maulana
Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya
sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil
ditemukan di tengah samodra dan
kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru
kepada Sunan Ampel di
Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan
pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri
yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan
menangisi kemalangan dirinya
yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi
memikirkan nasib ibunya
yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih
hidup atau sudah meninggal
dunia. Dalam hatinya telah bertekad untuk pada suatu ketika akan
datang ke Blambangan
menuntut balas atas kekejaman kakeknya itu. Namun Syekh Maulana
Ishak segera meredahkan
57
gelora hati Raden Paku yang masih berusia muda itu. “janganlah kau
diperbudak iblis sehingga
berniat membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh Maulana Ishak.”
Memang boleh kita
membalas perbuatan jahat seorang dengan balasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Tapi
memberi maaf itu lebih baik. Jika engkau pemuda Islam yang baik
yang tidak sama dengan
pemuda lain dengan menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah
otomatis kita berdakwah
dengan perbuatan nyata.”
Karena nasehat ayahnya yang bijaksana itu Raden Paku mengurungkan
niatnya untuk membalas
dendam pada Prabu Menak Sembuyu. Toh raja Blambangan itu masih
terhitung kakeknya
sendiri.
Di negeri Pasai ulama besar dari negeri asing yang menetap dan
membuka pelajaran agana
Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh
Raden Paku dan Maulana
Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik
kepada Syekh Maulana
Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu
ilmu yang langsung
berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar
ilmu Ta uhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran,
Bagdad dan Gujarat yang
banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden
Paku dalam prilakunya
sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya
hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman.
Guru-gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah
dianggap cukup oleh Syekh
Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke Tanah
Jawa. Oleh ayahnya, Raden
Paku diberi sebuah bungkusan putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah
tanah yang sama betul dengan
tanah dalam bungkusan ini, disitulah kau membangun Pesantren,”
Demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya. Melaporkan segala
pengalamannya kepada Sunan
Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah
Tuban. Sedang Raden
Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ibu angkatnya yaitu Nyai
Ageng Pinatih. “Tiba
masanya bagimu untuk berbakti kepada Nyai Ageng Pinatih.” Kata
Sunan Ampel. “Walau dia
bukan ibu kandungmu tapi dialah yang membesarkan dan merawatmu
sejak kecil. Bantulah
58
dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita juga
melakukan da’wah sambil
berdagang.”
Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban dengan
menggunakan gamelan untuk
menarik masa maka akhirnya dia dikenal sebagai Sunan Bonang.
Sesuai dengan nama gamelan
yang sering di gunakan melantunkan lagu-lagu atau tembang
keagamaan.
Sedang Raden Paku kembali ke Gresik untuk membantu ibu angkatnya
dalam mengurus
perdagangan antar pulau.
4. Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk
mengawal barang dagangan ke
pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang
hati. Nakhoda kapal
diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk
pimpinan berada di tangan
Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada
Raden Paku untuk ikut
memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan
penuh muatan. Biasanya,
sesudah dagangan itu terjual habis di pulau Banjar maka Abu
Hurairah diperintah membawa
barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau
Jawa, seperti rotan, damar,
emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh
menjadi berlipat ganda. Tapi
kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden
Paku membagi-bagikan
barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk
setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera
memprotes tindakan
Raden Paku, “Raden …… kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng
Pinatih. Mengapa barang
dagangan kita diberikan secara Cuma-Cuma ?”
“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah
tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka
dilanda kekeringan dan kurang
pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan
dari mereka. Sudahkah ibu
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya
kira belum, nah
sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan
diri.”
59
“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata Abu Hurairah. “Jika kita
tidak memperoleh uang lalu
dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak
dan badai ?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan
habis biasanya Abu
Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan
dari Kalimantan. Tapi
sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan
dibeli. “Paman tak usah risau,”
kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah
karung-karung kita dengan
batu dan pasir.”
Walaupun agak konyol tapi benar juga akal itu, demikian pikir Abu
Hurairah. Kapal itupun diisi
dengan karung-karung yang berisi pasir dan batu. Sekedar menjaga
keseimbangan agar kapal
itu tidak karam dihantam badai.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam
keadaan selamat. Tapi
hati Abu Hurairah menjadi kebat kebit sewaktu berjalan
meninggalkan kapal untuk menghadap
Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat.
Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan
Raden Paku yang dianggap
tidak normal itu.
“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata Raden Paku. “Lebih baik ibu
lihat dulu apakah isi
karung-karung dalam kapal itu ?”
“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah tak pernah berbohong
kepadaku. Pasir dan batu apa
susahnya mencari di Gresik ini. Aku tidak keberatan barang
dagangan itu kau sedekahkan
kepada penduduk Banjar yang menderita tapi pasir dan batu itu buat
apa ?”
“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !” pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya
mengotori karung-karung
kita saja !” Hardik Nyai Ageng pinatih.
60
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut.
Karung-karung itu isinya
berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari
Banjar, seperti rotan,
damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh
lebih besar ketimbang barang
dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Sejak saat itu
Nyai Ageng Pinatih tidak
berani menganggap sembarangan pada anak angkatnya. Dia yakin kelak
Raden Paku akan
menjadi orang besar, seorang yang mempunyai kelebihan dibanding
pemuda-pemuda biasa
lainnya.
5. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa
Bungkul. Ia mempunyai
Sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap
kali ada orang hendak
mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka, kalau tidak
ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan
Ki Ageng Bungkul. Begitu
dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh
mengenai kepala Raden
Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Pakuh, dan ia
berkata, “kau harus kawin
dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja
yang dapat memetik buah
delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya
yang bernama Dewi
Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepada Sunan
Ampel.
“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik,
aku yakin Dewi Wardah
juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat
Ki Ageng Bungkul kuharap
kau tidak mengecewakan niat baiknya itu.” Demikian kata Sunan
Ampel.
“Tapi .......... bukankah saya hendak menikah dengan putri Kan
jeng Sunan yaitu dengan Dewi
Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad
nikah dengan Dewi
Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan
Dewi Wardah.”
61
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia
menikah dua kali. Menjadi
menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul
seorang Bangsawan
Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga,
Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil
berlayar itu pula beliau
menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya
cukup terkenal di
kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia
ingin berkonsentrasi
menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok Pesantren. Iapun
minta izin kepada ibunya
untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata
hartanya yang banyak itu
dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan
habis, terlebih Juragan
Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan
kesanggupannya untuk
mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanta itu
ikhlas melepaskan Raden
Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40
malam beliau tidak keluar goa,
hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu
hingga sekarang masih
ada, yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur
teringatlah Raden Paku pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan
berkeliling untuk mencari daerah
yang tanahnya mirip dengan tanah yang di bawa dari Negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan
yang hawanya sejuk,
hatinya terasa damai, iapun mencocokan tanah yang dibawanya dengan
tanah di tempat itu.
Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren.
Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka
dinamakanlah pesantren Giri. Giri
dalam bahasa Sangsekerta artinya gunung. Atas dukungan istri-istri
dan ibunya juga dukungan
spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama, hanya dalam waktu
tiga tahun Pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
6. Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun
Sunan Giri berhasil
mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh
Nusantara. Menurut Dr. H.J. De
Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri
Pasai, ia memperkenalkan
diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik,
dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas
gunung tersebut
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya
Giri Kedaton ( Kerajaan
62
Giri ) . Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru,
seperti Maluku, Madura,
Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru
bertebaran hampir di seluruh
penjuru benua besar, seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan
lain-lain.
Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai
ulama besar yang sangat
dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar
ia juga membangun
masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk
para santri yang datang
dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh
penduduk dikarenakan sulitnya
mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu
dapat diatasi. Cara Sunan
Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya
beliau seorang yang
mampu melakukannya.
7. Sebagai Pemimpin Kaum Putihan
Dalam menentukan hokum agama yang pada saat itu memang sedang
menghadapi ujian adanya
masalah-masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati,
beliau kuatir terjerumus
pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang
teguh kepada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang sahih.
Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak
boleh dicampuri dengan
berbagai kepercayaan lama yang justru bertentangan dengan agama
Islam. Karena mahirnya
beliau di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan
Abdul Fakih. Di bidang tauhid
beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan
kepercayaan lama. Kepercayaan
Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat
istiadat lama yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak
menyesatkan ummat dibelakang
hari.
Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai
dengan ajaran aslinya yang
termasuk di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini
maka Sunan Giri dan
pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan
ini artinya adalah dalam
beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran
aslinya. Pemimpin kaum putihan
adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.
63
Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam
Abangan ini adalah para
pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan
Kudus, Sunan Gunung Jati
dan Sunan Muria.
Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar
keseluruh penduduk Tanah
Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu
mereka berpendapat :
1.
Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak
merubah adat yang berat
ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam
menyebarkan Islam.
2.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah
dihilangkan maka
ditiadakan.
3.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi
diusahakan untuk
mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang
benar.
4.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau
terjadinya kekerasan dalam
menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa
mengeruhkan airnya
5.
Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga
rakyat mau diajak
berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih
ajaran agama Islam
itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat
Islam, melainkan
berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para
ulama atau para
Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat
seperti gending dan wayang
kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.
Perlu diketahui walaupun
ada perbedaan dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu
tidak sampai terjadi
ketegangan kedua pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah
waljamaah dan bermahZab
Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyadari pentingnya pos mereka.
Pihak Putihan menjaga
kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang
berbau syirik. Sedangkan
pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya
menjadi pemeluk agama
Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan
iman mereka saja.
8. Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar
dibuka dengan pertunjukan
wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber
yaitu gambar manusia yang
dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak
oleh Sunan Giri, karena wayang
yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam,
demikian menurut Sunan
Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan
membuka pegelaran
wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh
masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid
Demak diresmikan pada saat
64
hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan
Kalijaga yang berjiwa besar
kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan
Kalijaga telah merubah
bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut
sebagai gambar manusia lagi.
Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para
Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan
Giri menyetujui wayang
kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang
kulit itu adalah
dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi
tanda khusus pada
momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh
Sunan Kalijaga
dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan
Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian
diteruskan dengan pertunjukan
wayang kulit yang dinamakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga. Peranan
Sunan Giri dalam
perjuangan Wali Songo sebenarnya masih banyak, diantaranya akan
kami turunkan dalam bab
lain di buku ini.
9. Prabu Satmata Dan Giri Kedaton
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan
spiritualnya juga semakin luas.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah
menjadi kerajaan Giri yang
sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama
bergelar Prabu Satmata.
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang
diangkat sebagai sesepuh
Wali Songo atau Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan
Ampel adalah Penasehat
bagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan
Wali Songo, yaitu
menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling
tidak setuju atas beberapa
usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat
berdiri sebagai kerajaan
Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan
Sunan Giri yang masih
terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu
Brawijaya sebagai pembesar
atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing.
Sunan Ampel berkuasa di
Surabaya dan Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian
Sunan Ampel adalah orang
yang paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali
mengusulkan untuk
menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.
65
“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah keropos dari dalam.
Lagi pula Prabu Brawijaya
Kertabumi itu masih ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak
Bintoro,” Kata Sunan
Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka menyerang
dan merebut tahta
ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan Majapahit akan sirna dengan
sendirinya, beberapa adipati
yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut
kekuasaan. Kita tak usah ikutikutan
merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan agama
yang kita anut.”
Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau
meninggal dunia. Adipati
Keling atau Kediri bernama Girindrawardhana menyerbu kerajaan
Majapahit. Ada yang
menyebutkan bahwa Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas
dalam serangan
mendadak yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri.
Setelah Sunan Ampel wafat,
penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga.
Sedang Sunan Giri dianggap
sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik
kenegaraan.
Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh
serangan menyerang Prabu
Girindrawardhana yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah
adalah pewaris utama
kerajaan Majapahit. Dengan demikian ketika Demak menyerbu
Majapahit bukanlah menyerang
Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan justru
merebut tahta Majapahit
dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu
Girindrawardhana ini berkuasa di
Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan
Giri dianggap salah satu
kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh
Sunan Giri.
Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga
terdengar oleh seorang
Begawan dari Lereng Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana
ini sengaja datang ke
Giri Kedaton untuk menentang Sunan Giri adu kesaktian. Diantara
adu kesaktian beragam
jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan
Mintasemeru menciptakan
sepasang angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup
diatas gunung Patukangan.
Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu,
demikian tanya Begawan
Mintasemeru menguji Sunan Giri.
“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab
Sunan Giri dengan
tenangnya.
Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok
kebodohan Sunan Giri.
66
“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan
apakah yang Tuan tanam di
puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.
Sang Begawan menurut. Dia bongkar kuburan sepasang angsa ciptaannya.
Ternyata angsa itu
lenyap sebagai gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk
hendak menerkamnya. Tentu
saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa
Begawan Mintasemeru
masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan,
tapi semuanya dapat
dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru
menyerah kalah, tunduk dan
masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu.
Legenda tentang adu tebak
kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di
tangga masuk ke makam
Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang
naga dari ukiran batu yang
mirip dengan angsa.
10. Jasa-Jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan
agama Islam di Tanah
Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih
muda sambil berdagang
ataupun dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang
ataupun melalui muridmuridnya
yang ditugaskan keluar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti
Jenar, seorang Wali yang
dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan
syariat Islam yang
disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut
menghambat tersebarnya aliran
yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan
agama Islam secara murni dan konsekwen berdampak positif bagi
generasi Islam berikutnya.
Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa di
campuri kepercayaan atau
adapt istiadat lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar,
karena beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak
yang bernafas Islam antara
lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara permainan anak-anak
yang dicintanya ialah sebagai berikut :
Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang
lainnya menjadi obyek
buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah
berpegang pada tonggak atau
batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan
yang disebut Jelungan. Arti
permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh
kepada agama Islam Tauhid
maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang
dilambangkan sebagai pemburu.
67
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya
anak-anak akan menyanyikan
lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
dolanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nundhung begog hangetikar.”
Artinya adalah sebagai berikut :
“Malam terang bulan, marilah lekas bermain,
bermain di halaman, mengambil di halaman,
mengambil manfaat benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”
Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang,
maka marilah kita segera
menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat
dari agama Islam, agar
hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Sunan Giri jauh-jauh sudah memperingatkan umat agar berhati-hati
terhadap perubahan
jaman. Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang akan datang
akan banyak orang yang
mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat jauh
dari agama. Bahkan
sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi
menghiraukan syariat
agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan
mendakwakan dirinya sudah tidak
perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena
dirinya sudah baik, sudah
sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan
menyesatkan ummat
pengikutnya.
Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang
merasa ilmunya sudah tinggi,
sudah sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan
karenanya bebas berbuat
apa saja. Guru semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya
sampai-sampai masyarakat
rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan
sang guru. Dalam
kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti.
Sudah berapa kalikah
masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul
hingga orang-orang yang
mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.
68
11. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan
kerajaan Giri selama kurang
lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu
memerintah Giri Kedaton
beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar
terhadap kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya
kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan
pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200
tahun. Sesudah Sunan Giri yang
pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu
:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari
sebuah Sunan Amangkurat II
yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu
adalah dalam rangka
penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang
murid dari Pesantren Giri
yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan bahkan pernah
menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan
sewenang-wenang dari Sunan
Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’
Ahlusunnah yang dituduh
menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu
hanya fitnah dari orangorang
yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para
pengikut faham
Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti
Jenar yang ditentang Wali
Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah
kekuasaan Giri Kedaton.
Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri.
Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri.
*****
69
BAB V
Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama
aslinya adalah Syekh Maulana
Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering
disebut Nyai Ageng
Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu
Kertabumi ada pula yang
berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban
yang sudah beragama Islam
yaitu Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau
pemimpin agama se Tanah Jawa,
tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama
Islam secara tekun dan
disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para
Wali itu lebih berat dari pada
orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar,
maka Sunan Ampel sejak
dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku sewaktu
masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang, yaitu Negeri Pasai.
Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah
kandung dari Sunan
Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di
Negeri Pasai. Seperti
ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi
atau Iran. Sesudah belajar
di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
Jawa. Raden Paku kembali
ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai
Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk
berdakwah di
Tuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat
untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian
tengahnya. Bila benjolan itu dipukul
dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga
penduduk setempat. Lebihlebih
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu,
beliau adalah
seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya
sangat hebat bagi para pendengarnya.
70
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak
penduduk yang datang ingin
mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang
sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh
kesabaran. Setelah rakyat
berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam
kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang
yang berisikan
ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan
senang hati, bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
“Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu),
Keempat harus sering berprihatin (berpuasa),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah
mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika
hendak shalat jama’ah, baik di
pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini
sangat banyak, baik
yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena
beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya
gelar Sunan Bonang.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga
sekarang karya sastra Sunan
Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh
keindahan dan makna kehidupan
beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di
PerpustakaanUniversitas Leiden, Belanda.
(Nederland)
71
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh
jalan (tasawwuf) atau
tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa
disampaikan dengan sekar atau
tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa
dalam bentuk prosa disebut
Wirid.
Dibawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk
Wragul.
Suluk Wragul
Dhandhhanggula
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan
Akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencari makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakanTuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa memperdulikan
72
Bahaya mengncam
Wragul 3
Dilalapnya apa saja ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan
Mustahil ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apapun saja yang dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Wragul 4
Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah
Berang-berang berkata dengan ramah
Duh kera hitam, sungguh engkau kejam
Kau paksa aku mengikutimu
Yang kata orang tanpa dipikirkan
Ya, aku terpaksa
Mencari makan, tapi tidaklah
Dengan susah payah
Sekedar semampu diriku ini
Aku tak mencari-cari
Wragul 5
Hak orang lain tak kurebut
Tak kuperhatikan bencana dan kutuk
Tak kulihat yang hidup
Demikian pulalah halnya burung elang
Mengikuti tenggiling untuk cari makan
Susah untuk memberi peringatan
Jika engkau merasa
Sebagai makhluk Tuhan adanya
Janganlah hati mendua
Tak usah campuri urusan orang lain
Karena semua punya kadar masing-masing
73
Wragul 6
Sudah diberi hak hidup sendiri-sendiri
Seperti juga berbagai tetumbuhan ini
Atau yang memakan dedaunan
Mengikuti takdir Tuhan
Siapa akan mengikuti kata-katamu
Siapa menuruti ajakanmu
Sedangkan di hutan tempatmu
Sang kera hitam menjawab
Tidaklah akan kuubah
Makananmu, hanya ingatlah
Kepada yang memberi makan kepadamu
Wragul 7
Perbuatlah amal kebajikan
Terpaksa harus kuberitahukan
Hal-hal yang berfaedah saja
Sekedar menunjukkan yang benar adanya
Jawab Berang-berang
Tahulah aku
Maksud omonganmu
Kau inginkan
Agar kuberi kau makan
Tapi aku tak akan tunduk kepadamu
Wragul 8
Ibarat sudah tahu kebohongannya
Mulut jujur hati berdusta
Karena memaksa harus berbuat begini
Menghormat kepada yang belum mengerti
Agar dipercaya di dunia ini
Berapa kekuatannya
Tak tahu bahwa
Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi
Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti
Kalau berhasil melebihi
Wragul 9
74
Kelihatannya luhur dan mulia
Serba benar pembicaraannya
Tuntas luar dalamnya
Bagus penampilannya
Kena kotoran sedikitpun tak bersedia
Seperti burung elang akibatnya
Terbang tinggi
Lupa melihat kanan kiri
Begitu musuh disiasati
Selamat sampai akhir hari
Wragul 10
Apabila ibarat ikan
Ikan gegenjong yang lemah badannya
Namun tajam tajinya
Hai kera hitam
Mana kata-katamu yang benar
Yang diharamkan ditolaknya
Itu kalau sedikit jumlahnya
Dan walaupun haram
Tapi kalau ada sedikit manisnya ditutupi
Dengan amat tersembunyi
Wragul 11
Jelas itu dicampur aduk
Ada yang diucapkan dengan pura-pura
Yang terlihat tindakannya
Pujangga maupun pendeta
Sama-sama kurang budinya
Aku tahu semuanya
Sama-sama meminta-minta
Hanya satu dua yang mengamalkan
Meminta tanpa dibantah
Walaupun tidak sungguhan
Wragul 12
75
Kikir kalau dimintai
Lagaknya seperti pendeta sakti
Usaha seakan tak henti
Dalam hidup ini hendaklah mengerti
Upaya orang lain
Dalam hidup ini seyogianya
Tak demikian tindakannya
Di mana ada niat yang tak semestinya
Kata ahli kitab tak mau makan riba
Sebab ia pendeta
Wragul 13
Orang besar orang kecil berebut bersaing
Berupaya menggunakan akal masing-masing
Yang namanya raga manusia
Siap semuanya
Untuk beramal senantiasa
Sedangkan apa kelebihan pendeta
Sibuk mengolah ilmu pengetahuan
Rahasianya mencari pekerjaan
Berkah yang melimpah diharapkan
Jaksa pun demikian
Wragul 14
Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis
Mencari nafkah dengan menipu mengemis
Supaya ada kaulnya
Demikian para dukun adanya
Menjual mantra
Juga para guru yang terhormat
Mengajarkan ilmu luhur
Sama saja yang diharapkan
Yaitu pengabdian murid
Seperti burung kuntul
Wragul 15
Bertapa ada tujuannya
Agar memperoleh ikan di rawa
76
Agar semua itu kena olehnya
Adapun yang bertapa di gunung
Tujuannya pun
Untuk memperoleh Negara
Oleh masyarakat dipercaya
Begitu yang namanya pendeta
Terus menerus bertukar pikiran
Berbuat kepercayaan dalam pemerintahan
Wragul 16
Pendapat yang benar ditentang
Mencari saksi makin kesulitan
Diuji dengan kepercayaannya
Tak tahu bahwa terlalu asyik ia
Membicarakan keburukan orang
Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan
Padahal kejelekannya sebesar gunung
Lagi pula ia tertarik pada rupa
Serta keanekaragaman suara yang masuk telinganya
Dari awal hingga akhir diterimanya
Wragul 17
Karena banyak orang membingungkan
Tersandunglah ia di tempat yang rata
Sembuh, tapi mati akhirnya
Yang samar dikira nyata
Yang bukan-bukan dikira mengalir
Yang duduk dikira air
Yang tidak terlihat
Senantiasa melihat cela orang lain
Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi
Sang kera bicara gusar
Wragul 18
Ya, kamu jadinya
Mencela tingkah laku pendeta
Kalau begitu
Kamu pantas diburu
77
Hidupmu bagiku gambling
Merintangi pekerjaan
Kemudian sang berang-berang
Berucap : Apa maumu !
Seraya merunduk sambil menerjang
Tapi telah meloncat si kera hitam
Wragul 19
Pada dahan kayu sambil bersiaga
Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya
Semua pun angkat bicara
Dengan bahasa lambang mereka
Marah mereka
Siapa saja yang mencela pendeta
Boleh kita mengejarnya
Sampai mati ia
Semua kera mengepung di pinggir sungai itu
Tapi berang-berang sudah tahu
Wragul 20
Ketika sudah berkumpul semua kera hitam
Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan
Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan
Kemudian si berang-berang
Sambil makan ikan, memberi peringatan:
Kera hitam, pulanglah kau
Bersama teman-temanmu
Sebab siapa tahu si empunya datang
Yang di sungai ini ia punya larangan
Siapa tahu firasat ia dapatkan ……….
Wragul 21
Sanggupkah kau lindungi teman-temanmu ?
Maka semua kera hitampun bubar berlalu
Agaknya mereka malu
Dan sang berang-berang keluar dari air
Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir
Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir
78
Sang berang-berang berkata dalam hati
Berangan-angan ia
Kera hitam merasa suci dirinya
Mencela orang yang sedang mencari mangsa
Wragul 22
Memang perbuatan yang cemar
Adalah perbuatan melanggar
Hanya saja tak terlihat
Sungguh, cari saja yang mempunyai
Kebahagiaa, berlakulah laku sejati
Meskipun seorang pendeta
Seulung apapun ia
Jika menulis, lupa beribadah
Dirinya sendiri tak tampak olehnya
Karena orang lain saja yang dilihatnya
Wragul 23
Jadi, tingkah laku orang peroranglah
Yang merupakan makanan kesukaannya
Kelihatan bijak perbuatannya
Namanya pujangga
Yang terkandung di hati yang ditatapnya
Tapi setelah keluar darinya
Terlihat ia ingin menjiplaknya
Demikian ibarat seekor burung
Bertengger di pohon beringin yang terbalik
Wragul 24
Sementara sang berang-berang
Bersoal jawab dengan kera hitam
Turunlah burung tuhu
Menanyakan kesejatian
Mungkin selama perbincangan itu
Yang demikian yang diinginkan
Kepada kalimat tauhid amat senang
Sehingga dipertuhankan
Tak ingat yang sungguh-sungguh Tuhan
79
Wragul 25
Lahir dan batin, dulu dan kemudian
Baik buruk, suka dan duka
Sudah nasib manusia, tiada bedanya
Takdir Allah yang Maha Agung
Siang malam sembah puji senantiasa
Jika rahmat tak datang juga
Jika belum mencapainya
Masih ragu adanya
Berterus teranglah dalam memperolehnya
Demikian burung tuhu berkata
Wragul 26
Sudah sebulan aku berdampingan
Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan
Sebab semua
Yang ia makan adalah kotoran
Jadi selalu kuhindari
Tak akan aku ikuti
Yang najis
Sungguh selama hidupku
Yang halal saja makananku
Yang diajak bicara menjawab begitu
Wragul 27
Tahu semua pengetahuan
Namun tak mengerti sastra agama
Dari mana asalnya
Yang meskipun seolah telah merasuk dihati
Tak mungkin ditolak di dunia ini
Burung tuhu berujar :
Walau manis tutur katanya
Sebenarnya takhyul yang dibeberkan
Sang berang berkata : Pernah kudengar
Bahwa dalang tak pernah ditanya
80
Wragul 28
Pemburu tak henti berkelana
Ibarat burung bangau bertapa di rawa
Tiada lain niatnya
Kecuali mencari ikan di air
Dimakannya siang malam
Seperti bangau botak
Seperti kambing prucul
Maka orang yang menjalani laku
Jangan cepat melangkah dulu
Bertanyalah kepada yang tahu
Wragul 29
Haruslah lahir batin kalau memuji
Yang diucapkan musti dimengerti
Yang dilihat hendaknya dipahami
Juga segala yang didengar
Betapa sukar orang memuji
Maka sebaiknya carilah guru
Yakni orang yang lebih tahu
Yakni ahli ibadah
Dan memujilah hingga merasuki hati
Begitulah orang melakukan sembah puji
Wragul 30
Kalau tak tahu apa yang disembah
Hilanglah apa yang disembah
Karena sesungguhnya tak ada tirai itu
Tataplah gunung
Dan bunga dalam kesepian
Ikan tanpa mata
Wahyu sejati
Pandanglah Arjuna
Kalau bertapa tak tergoda
Oleh apa saja
Wragul 31
81
Ada tiga macam pepuji
Pertama melihat yang disembah
Kedua melihat rupanya
Ketiga tak melihat
Kepada sesuatu, namun
Menghadap yang disembah
Ibarat mencari
Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan
Tak beda segala yang dimiliki
Berpadu satu ragawi ruhani
Wragul 32
Kalau tak begitu kafir jadinya
Yang namanya gajah, gerangan mana ia
Sejauh-jauh usiaku
Belum mengerti hal itu
Ibarat menyatukan perjalanan gajah
Dengan petualangan burung garuda
Ibarat menyatukan punggung dengan dada
Atau wayang dengan kelirnya
Tapi sesungguhnya cermin satu adanya
Wragul 33
Itu jelas sama
Yang dicari sedang tak ada
Tapi burung tuhu sedang memahaminya
Ibarat malam yang dibakar
Tak ada yang dipikirkan
Ajaran dari berang-berang
Biasanya sudah diajarkan
Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu
Ingat bahwa engkau dikuasai Tuhanmu
Wragul 34
Seperti halnya tinta
Masih menyatu dengan tempatnya
82
Jangan menghindar meski mati bayarannya
Kalau hidup, hiduplah seperlunya
Selalu perhatikan guru
Jangan seperti orang bermimpi
Atau seperti burung yang disuruh berbicara
Mengikuti kata-kata
Dijadikan panutan pikirannya
Berang-berang bersiap-siap menyingkir
Burung tuhu terbang ke dahan
Wragul 35
Ketika kemudian matahari terbenam
Terdengar suara pertunjukan wayang
Tampaknya di istana
Tergetar tabirnya
Di depan kelir berada semua wayangnya
Burung tuhu tampak
Ki dalang terlihat
Yang terlihat gawang-gawangnya
Wayangnya tiada, hanya dalangnya
Padahal tabir penglihatan tidaklah ada
Wragul 36
Dalang dapat bertukar rupa
Banyak orang jatuh cinta
Menyaksikan tingkah wayangnya
Terlihat segala tingkah lakunya
Semua saling jatuh cinta
Betapa mendalam keinginan
Menatap sang dalang
Namun dicari tak ketemu
Meskipun dengan susah dan rindu
Wragul 37
Lebih-lebih jika kurenungkan ini
Dengan teliti
Betul-betul ingin bekerja
Terlalu penuh perhitungan akhirnya
83
Atas kekayaan orang-orang kaya
Maka kalau tak paham
Jangan ikut-ikutan
Sampai kapan demikian
Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali
Raga yang tersembunyi
Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan
anak buahnya hanya
mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopot.
Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu
bergerak, seluruh
persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga
gagallah mereka melaksanakan
niat jahatnya.
“Ampun .......... hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat
!” Demikian rintih Kebondanu
dan anak buahnya.
“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk
terhadap kalian jika saja
hati kalian tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan
perbuatan jahat lagi, tapi
.......... “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak
terhitung lagi banyaknya,”
kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh
dan melakukan tindak
kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang.
“Allah adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
84
“Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan
Bonang yang setia.
Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang
Brahmana sakti dari India
yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan
berdebat tentang masalah
keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju
Tuban, perahunya terbalik
dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-kitab
referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan
Bonang telah tenggelam ke
dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah
putih sedang berjalan
sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan
menyapanya. Lelaki berjubah
putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke
pasir.
“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama
Sunan
Bonang.” kata sang Brahmana.
Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang ?” tanya lelaki itu.
“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan, kata sang
Brahmana.” Tapi sayang
kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.”
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap
di pasir, mendadak
tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua
kitab yang dibawa sang
Brahmana.
“Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut ?” Tanya
lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata
benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa
sebenarnya lelaki berjubah putih
itu.
“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini ?” tanya sang
Brahmana.
85
“Tuan berada di pantai Tuban !” jawab lelaki itu. Serta merta
Brahmana dan para pengikutnya
menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah
dapat menduga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban
selain Sunan Bonang. Sang
Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang
untuk adu kesaktian dan
mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan
Bonang dan menjadi
pengikut Sunan Bonang yang setia.
Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.
Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk
dimakamkan di samping
Sunan Ampel yaitu ayahandanya. Tetapi kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak
bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan
di Tuban yaitu di
sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
*****
BAB VI
Sunan Drajad
1. Asal Usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan
Ampel dengan Dewi
Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian di
perintah untuk berda’wah di
sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara
Tuban dan Gresik.
Raden mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah
singgah di tempat Sunan
Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau tiba-tiba
di hantam oleh ombak yang
besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim
kehilangan jiwa, tapi
bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimanapun hebatnya
kecelakaan pasti dia
akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim.
86
Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang
kepadanya. Dengan menunggang
punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi
pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau
juga berterima kasih kepada
ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. Untuk itu beliau
telah berpesan kepada anak
turunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang. Bila pesan
ini dilanggar akan
mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya
lagi.
Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang
termasuk wilayah desa jelag
( sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati ), kecamatan Paciran.
Di tempat itu Raden Qosim
disambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah
mereka tahu bahwa Raden
Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih
terhitung kerabat keraton
Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren. Karena caranya
menyiarkan agama Islam
yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya.
Setelah menetap satu tahun
di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah
selatan, kira-kira berjarak
1 kilo meter, disana beliau mendirikan surau langgar untuk
berdakwah. Tiga tahun kemudian
secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat
berdakwah yang strategis
yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur.
Di bukit yang disebut Dalem Duhur itulah yang sekarang dibangun
Museum Sunan Drajad,
adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum
tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan
Giri. Artinya, dalam
berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan
yang tidak berlikuliku.
Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran
Nabi. Tidak boleh
dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai
alat dakwah.
Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamya terdapat
seperangkat bekas gamelan
Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad
kepada kesenian Jawa.
87
2. Ajaran Sunan Drajad Yang Terkenal
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut :
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyub marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut :
Berilah petunjuk kepada orang bodoh ( buta )
Sejahterakanlah kehidupan rakyat yang miskin ( kurang makan )
Ajarkanlah budi pekerti ( etika ) kepada orang yang tidak tahu
malu
atau belum punya beradaban tinggi.
Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau
ditimpa bencana.
Ajarannya ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkan sesuai
dengan tingkat dan
kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak
berkeberatan untuk
mengamalkannya. Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang
berjiwa dermawan dan social,
beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta
mendukung dinasti Demak dan
ikut pula mendirikan Masjid Demak. Simbol kebesaran ummat Islam
pada waktu itu. Di bidang
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga
pertama kali yang menciptakan
Gending Pangkur.Hingga sekarang gending tersebut masih disukai
rakyat Jawa.
Sunan Drajad, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepadanya
karena beliau bertempat
tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat
ilmunya yang tinggi, yaitu
tingkat atau derajat para ulama’ muqarrobin. Ulama yang dekat
dengan Allah SWT.
88
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang
menyimpan beberapa
peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di
bidang kesenian.
*****
BAB VII
Sunan Kalijaga
1. Asal Usul Sunan Kalijaga
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama
Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung
Wilatikta seringkali disebut
Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama
Hindu tapi Raden
Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh
guru agama Kadipaten
Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang
kontradiksi dengan
kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa
muda Raden said seakan
meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten
Tuban di saat menarik
pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan
adanya musim kemarau
panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang
kadangkala tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka.
Seringkali jatah mereka
untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita
para penarik pajak. Raden
Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang
mengganjal di hatinya.
Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena
panen banyak yang gagal,”
kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani
dengan pajak yang mencekik
leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas
penderitaan mereka ?”
89
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian
dia menghela nafas
panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku ..... saat
ini pemerintah pusat
Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk
melangsungkan roda
pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa
dayaku menolak tugas yang
dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan
membayar upeti lebih
banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat
tugas serupa.”
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said.
Tapi Raden Said tak
meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah
menjadi merah padam
pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini
Raden Said membuat
ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan
mengundurkan diri dari
hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah
dapat menjawabnya
sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu
sering menghadapi
kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang
saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai
kehidupan yang bebas, yang
tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul
dengan rakyat jelata atau
dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga
yang paling atas. Justru
karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui
selukbeluk kehidupan rakyat
Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan
kepada ayahnya. Tapi
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya
pula posisi ayahnya sebagai
adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya
sembari
mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar
rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said
mengambil sebagian hasil bumi
yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan
makan itu dibagi-bagikan kepada
rakyat yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget
bercampur girang menerima rezeki
yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan
yang memberikan rezeki
itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar